Di dalam artikel watak Paradoksal hak asasi yang
ditulis oleh F.Budi Hardiman ini, beliau mencoba mengkritisi tulisan Hannah
Arend dalam bukunya The origin of Totalitarianism dengan menempatkan kritik Arend
tersebut dalam konteks zaman. Kemudian beliau mengulas seberapa besar
kontribusi kritik tersebut dalam pemahaman mengenai hak-hak asasi. Selanjutnya
F.Budi Hardiman mencoba menunjukkan kelemahan kritik Arend tersebut jika di
konfrontasikan dengan praktik hak-hak asasi manusia dalam masyarakat liberal
yang terglobalisasi di awal milenium ketiga. Di satu pihak ternyata beliau pun
tetap memberikan apresiasi atas kritik-kritik tersebut yang menurut beliau
semua hal tersebut dapat dilihat sebagai suatu peringatan bahaya dalam
globalisasi. Dimana dalam proses tersebut bukan perspektif mereka yang
diuntungkan melainkan dari perspektif para korbannya.
Di dalam artikel ini ada empat point pembahasan yang
dipetakan oleh F.Budi Hardiman. Pertama Emansipasi, atomisasi, dan “massa”.
Kedua Komunitas politis: jangkar bagi hak-hak asasi manusia. Ketiga hak-hak
asasi manusia dan kosmopolitanisme dan Keempat Ekspansi pasar global dan krisis
solidaritas.
Di dalam penjelasan beliau ini pada bagian
Emansipasi, atomisasi, dan “massa”, dapat dipahami bahwa Arend menggambarkan
suatu bentuk narasi yang tampaknya berbeda dengan konsep liberalisme.
Liberalisme dalam pandangan Arend yang dijelaskan dalam penulisan artikel ini
tampaknya terdengar sedikit tragis. Sebab dalam pemikiran Arend bukanlah
sekedar emansipasi individu dari kelompok yang terjadi di dalam modernitas.
Melainkan apa yang disebut dengan atomisasi yaitu individu tercerabut dari
komunitas yang merupakan dunia yang dihayati bersama dan kehilangan identitas
kolektif yang memberinya rasa ketermasukan ke dalam sebuah kelompok.
Suatu konsep fungsi hak-hak asasi manusia dipahami
sebagai sesuatu yang secara politis tidak dapat dijamin dan tak pernah dijamin.
Dengan perkataan lain hak-hak asasi dipahami sebagai sesuatu hal yang disebut
sebagai hak minimalis dimana masih bisa dimiliki oleh orang yang kehilangan
hak-hak sipilnya. Sehingga dalam hal ini, telah tampak suatu paradoks yang
mengandung pengertian bahwa hak-hak yang dibayangkan sebagai hak-hak
pra-politisi yaitu sebagai sesuatu yang dimiliki oleh manusia sebagai individu
sebelum ada negara, membutuhkan negara untuk menjamin pelaksanaannya. Suatu hal
yang harus dicerna pula untuk menjamin hak-hak yang ada suatu individu tidak
dapat dibiarkan tetap sebagai individu. Di mana mengandung pengertian bahwa
status mereka harus diubah menjadi anggota sebuah kelompok yaitu warga negara.
Dalam hal Komunitas politis, jangkar bagi hak-hak
asasi manusia dapat saya cermati fokus pembahasan menegaskan bahwa seorang
warganegara sebaiknya harus lebih dahulu dilengkapi dengan hak-hak sebagai
warga negara sebelum hak-hak asasinya diakui dan dilindungi. Dengan perkataan
lain ada hak yang lebih fundamental yaitu suatu hak untuk memiliki hak-hak
daripada hak-hak asasi manusia. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa bagi
Arend hak-hak asasi manusia tersebut melekat pada hak-hak warga negara, dan
status kewarganegaraan yang penuh di dalam sebuah republik sipil adalah
satu-satunya sumber nyata bagi hak-hak asasi manusia yang dikarenakan hanya
status tersebut yang dapat menjamin hak-hak yang ada.
Konsep Hak-hak asasi manusia dan kosmopolitanisme
menjelaskan bahwa terdapat suatu tendensi yang cukup kuat dalam globalisasi
hak-hak asasi manusia untuk mewujudkan suatu utopia tentang kewarganegaraan apa
yang dinamakan dengan kosmopolitan yang melampaui keterikatan pada teritorium
geopolitis negara kebangsaan. Dalam artikelnya ini yang menjadi pertanyaan bagi
beliau adalah apakah benar hak-hak asasi manusia adalah sebuah paradoks
sebagaimana yang dijelaskan oleh Arend. Tidak dapat dipungkiri ternyata dari
pengalaman yang ada dimana adanya kedua perang dunia turut berperan dalam
kritik Arend atas hak-hak asasi manusia.
Di saat itu negara kebangsaan khususnya Jerman yang
didominasi oleh nazi tidak memberikan status kewarganegaraan legal bagi para
pengungsi, pencari suaka, dan minoritas. Di mana pembunuhan massal dan
ketelantaran jutaan pengungsi di negara-negara Eropa sebagaimana menurut Arendt
dikarenakan ketiadaan hak sebagai warga negara. Berangkat dari melihat
pengalaman yang ada beliau menuliskan bahwa Arend mengeluarkan suatu pendapat
yang mengatakan bahwa tanpa status yang memungkinkan individu memiliki “hak
untuk memiliki hak-hak”, negara kebangsaan juga tidak dapat menjamin hak-hak
asasi manusia. Akan tetapi dalam negara totaliter seperti halnya Jerman saat
itu, bahkan kewarganegaraan pun tidak akan melindungi hak-hak asasi para oposan rezim sebagaimana
yang dituliskan dalam kasus Scholl bersaudara yang dipacung mati karena
menyebar pamflet melawan Hitler.
Pada bagian pembahasan terakhir dalam artikel ini,
suatu Ekspansi pasar global dan krisis solidaritas dapat dicermati bahwa
globalisai pasar besar membawa konsekuensi apa yang disebut dengan ekspansi
horizontal sistem ekonomi kapitalis yang tidak hanya melampaui batas-batas
negara kebangsaan seperti yang dialami dalam era imperialisme melainkan juga
ekspansi vertikal sistem tersebut ke dalam wilayah-wilayah solidaritas sosial
yang sebelumnya terbentuk secara spontan lewat tradisi dan kebudayaan.
Dalam artikel ini menurut hemat beliau Arend kurang
tepat dalam kritiknya bahwa hak-hak asasi manusia adalah non-sense tanpa
keanggotaan ke dalam komunitas politis, akan tetapi menurut beliau Arend benar
ketika diagnosisnya menyatakan bahwa ekspansionisme pasar kapitalis yang
berhaluan universalistis tersebut membawa krisis identitas dalam negara
kebangsaan dan melemahkan partisipasi demokratis.
Satu pokok penting yang harus kita pahami pula
ketika kita berbicara globalisasi kapitalis, maka yang dimaksudkan bukanlah
suatu perkumpulan pengungsi politis dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang
lazimnya dihadapi. Akan tetapi gelombang massa produsen dan konsumen. Dalam
artian mereka memiliki suatu kewarganegaraan tetapi dalam sirkulasinya produksi
dan konsumsi di dalam mekanisme pasar global, mereka cenderung mengabaikan
peran warga negara dan mengejar kepentingan diri mereka sebagai pengemban
hak-hak privat. (Irma Safni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar