Sabtu, 05 Juli 2014

Memperbincangkan Bangsa Yang Tidak Selesai : Gagasan Kebangkitan di Indonesia Sebelum dan Setelah Soeharto



          Indonesia adalah sebuah bangsa yang belum tuntas. Kalimat tersebut merupakan salah satu point yang pernah disampaikan Dr. Max Lane[1] saat dulu pernah menjadi dosen tamu di kampus saya. Dalam penuturannya tersebut, beliau mengatakan bahwa kerangka pemikirannya tentang sebuah bangsa banyak diilhami dari  Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya, Indonesia itu bukan seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu anak bangsa ataupun negeri sejuta aksi. Max Lane dalam hal ini juga menilai bahwa Pramoedya adalah seorang figur novelis dan pemikirannya sangat sarat dengan pembaharuan sejarah khususnya dalam melakukan berbagai analisis kritis bagi sejarah Indonesia. 

Jika melihat pada sejarah jatuhnya rezim orde baru dibawah kekuasaan Soeharto, diungkapkan bahwa hal ini tidak dikatakan bahwa mahasiswalah yang menjadi faktor utama dalam tumbangnya rezim tersebut, sebagaimana argument internasional sendiri menjelaskan bahwasanya Soeharto tidak hanya dijatuhkan oleh kekuatan mahasiswa. Melainkan juga oleh IMF, dan adanya kepentingan oleh beberapa elit politik ketika itu yang salah satu misinya adalah adanya keinginan untuk menumbangkan rezim Soeharto yang dianggap sangat otoriter.

Kemudian diungkapkan dalam bahasa beliau disebut apa itu floothing mass yaitu masa mengambang. Dalam hal ini beliau mengungkapkan bahwa warga negara “tidak usah berpolitik, tidak usah berideologi yang boleh hanya berproduksi saja”. Indonesia menurut beliau belum mempunyai kebudayaan bersama. Salah satu faktornya adalah karena faktor ekonomi, untuk negeri seperti Indonesia ini baru akan bisa menghadapi dunia industri jika terlebih dahulu prosesnya sebagai nation telah berhasil. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang namanya “nasionalisme” beliau beranggapan untuk tidak menyetujui ideologi tersebut. Menurutnya suatu ideologi semua komponen nation mempunyai kepentingan yang sama. Jika dilihat pada pasca kemerdekaan, tampaknya kompleksitas masyarakat Indonesia semakin membuat tidak nampaknya lagi kesamaan kepentingan dalam suatu bangsa. Sejak kemerdekaan tidak nampak lagi kepentingan orang kaya berbeda dengan orang miskin, diungkapkan disini bahwasanya ada komponen bangsa yang berorientasi pada kesetiaan ke perusahaan asing. Dalam hal ini point penegasan yang ingin disampaikan beliau bahwasanya nasionalisme itu hanyalah sebuah izma (ideologi) yang dimana di dalam isi ideologi nasionalisme tersebut adalah semua elemen bangsa yang mempunyai kepentingan sama, sehingga harus ada pembebasan nation dan pembangunan nation.

Suatu hal menarik lagi yang coba dikritisi beliau dalam kalimatnya “Indonesia dirasa belum akan tuntas sebagai nation jika sastra nasional saja tidak tereksis. Sebut saja di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) dan berbagai sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, sastra dapat dikatakan bukanlah pelajaran yang menjadi basis utama. Dengan kata lain Indonesia adalah negara yang tidak memasukkan sastra ke dalam kurikulum wajib. Sastra Indonesia hanya ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, sastra bukan menjadi pelajaran yang didesain secara khusus dan pokok. 

Sungguh ironis yang dikatakan Max Lane ketika karya-karya besar sastra Pramoedya Ananta Toer kurang mendapatkan apresiasi di negaranya sendiri. Hal ini tentunya telah membuktikan rendahnya apresiasi dan semangat pelajar pada khususnya untuk mendalami sastra, tentunya akan berujung pula pada stabilitas nasional bangsa. Indonesia sampai sekarang ini pun masih menjadi bangsa yang belum tuntas dan tidak akan tuntas hingga adanya suatu demokrasi sepenuhnya dan menyeluruh. 

Yang perlu dipahami pula bahwasanya jejak langkah sejarah Indonesia meupakan hasil perjuangan yang tidak diperoleh secara instan, tetapi merupakan hasil dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Bukan dari penjajah ataupun warisan dari masa lalu. Kerangka pointnya bahwa Indonesia adalah negara yang terbentuk dari suatu proses antikolonialisme dan adanya revolusi demokratis.




[1] Visiting Fellow Department of Malay Studies National University of Singapore.

Tidak ada komentar: