Indonesia adalah sebuah bangsa yang belum tuntas. Kalimat tersebut merupakan salah satu point yang
pernah disampaikan Dr. Max Lane[1]
saat dulu pernah menjadi dosen tamu di kampus saya. Dalam penuturannya
tersebut, beliau mengatakan bahwa kerangka pemikirannya tentang sebuah bangsa
banyak diilhami dari Pramoedya Ananta
Toer. Menurutnya, Indonesia itu bukan seperti yang
dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu anak bangsa ataupun negeri sejuta
aksi. Max Lane
dalam hal ini juga menilai bahwa Pramoedya adalah seorang figur novelis dan
pemikirannya sangat sarat dengan pembaharuan sejarah khususnya dalam melakukan
berbagai analisis kritis bagi sejarah Indonesia.
Jika melihat pada sejarah jatuhnya
rezim orde baru dibawah kekuasaan Soeharto, diungkapkan bahwa hal ini tidak
dikatakan bahwa mahasiswalah yang menjadi faktor utama dalam tumbangnya rezim
tersebut, sebagaimana argument internasional sendiri menjelaskan bahwasanya
Soeharto tidak hanya dijatuhkan oleh kekuatan mahasiswa. Melainkan juga oleh
IMF, dan adanya kepentingan oleh beberapa elit politik ketika itu yang salah
satu misinya adalah adanya keinginan untuk menumbangkan rezim Soeharto yang
dianggap sangat otoriter.
Kemudian diungkapkan dalam bahasa
beliau disebut apa itu floothing mass
yaitu masa mengambang. Dalam hal ini beliau mengungkapkan bahwa warga negara
“tidak usah berpolitik, tidak usah berideologi yang boleh hanya berproduksi
saja”. Indonesia
menurut beliau belum mempunyai kebudayaan bersama. Salah satu faktornya adalah
karena faktor ekonomi, untuk negeri seperti Indonesia ini baru akan bisa
menghadapi dunia industri jika terlebih dahulu prosesnya sebagai nation telah berhasil.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang
namanya “nasionalisme” beliau beranggapan untuk tidak menyetujui ideologi
tersebut. Menurutnya suatu ideologi semua komponen nation mempunyai kepentingan yang sama. Jika dilihat pada pasca
kemerdekaan, tampaknya kompleksitas masyarakat Indonesia semakin membuat tidak
nampaknya lagi kesamaan kepentingan dalam suatu bangsa. Sejak kemerdekaan tidak
nampak lagi kepentingan orang kaya berbeda dengan orang miskin, diungkapkan
disini bahwasanya ada komponen bangsa yang berorientasi pada kesetiaan ke
perusahaan asing. Dalam hal ini point penegasan yang ingin disampaikan beliau
bahwasanya nasionalisme itu hanyalah sebuah izma (ideologi) yang dimana di
dalam isi ideologi nasionalisme tersebut adalah semua elemen bangsa yang
mempunyai kepentingan sama, sehingga harus ada pembebasan nation dan
pembangunan nation.
Suatu hal menarik lagi yang coba
dikritisi beliau dalam kalimatnya “Indonesia dirasa belum akan tuntas
sebagai nation jika sastra nasional saja tidak tereksis. Sebut saja di sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) dan berbagai sekolah-sekolah
yang ada di Indonesia,
sastra dapat dikatakan bukanlah pelajaran yang menjadi basis utama. Dengan kata
lain Indonesia
adalah negara yang tidak memasukkan sastra ke dalam kurikulum wajib. Sastra Indonesia hanya ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,
sastra bukan menjadi pelajaran yang didesain secara khusus dan pokok.
Sungguh ironis yang dikatakan Max Lane ketika
karya-karya besar sastra Pramoedya Ananta Toer kurang mendapatkan apresiasi di
negaranya sendiri. Hal ini tentunya telah membuktikan rendahnya apresiasi dan
semangat pelajar pada khususnya untuk mendalami sastra, tentunya akan berujung
pula pada stabilitas nasional bangsa. Indonesia sampai sekarang ini pun
masih menjadi bangsa yang belum tuntas dan tidak akan tuntas hingga adanya
suatu demokrasi sepenuhnya dan menyeluruh.
Yang perlu dipahami pula bahwasanya
jejak langkah sejarah Indonesia
meupakan hasil perjuangan yang tidak diperoleh secara instan, tetapi merupakan
hasil dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Bukan dari penjajah
ataupun warisan dari masa lalu. Kerangka pointnya bahwa Indonesia
adalah negara yang terbentuk dari suatu proses antikolonialisme dan adanya
revolusi demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar