Rabu, 19 Februari 2014

Jejak Shadow State di Banten

 
   Saat ini, siapa yang tidak mengenal Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten)? Wanita ini kerap menjadi perbincangan publik karena media massa sering menyorotnya seiring dengan meledaknya kasus yang sedang menimpanya. Sorotan media massa yang cukup intens terhadapnya, secara tidak langsung telah mengingatkan saya tentang kajian yang pernah saya lakukan pada artikel Shadow State : Bisnis dan Politik di Provinsi Banten yang ditulis oleh Syarif Hidayat. Baiklah mari kita simak catatan redaksi yang pernah saya lakukan.

   Sejatinya politik lokal bermaksud memberi ruang tersendiri kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif. Dinamika politik lokal juga telah melahirkan bentuk relasi kekuasaan yang tidak hanya dapat dipahami secara formal, tetapi juga menyangkut jaringan-jaringan informal yang ada. Dalam pandangan saya, hal ini justru dapat menjadi salah satu pemicu timbulnya konflik baru dalam aras politik lokal. 

 
   Dalam menuliskan artikelnya, Hidayat mencoba membawa kita untuk dapat memahami secara lebih utuh tentang relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Khususnya pada periode pasca pemerintahan Soeharto. Dalam hal ini, fokus pengamatannya pun kemudian dilakukan di Provinsi Banten dengan melihat bagaimana bisnis dan politik bermain di Provinsi yang baru terpisah dari Jawa Barat dan resmi berdiri pada Oktober tahun 2000. Tujuan yang ingin dicapai penulis semakin menggebu ketika menemukan sebuah artikel di dalam harian Kompas (4-7-2003) yang berjudul Ke Banten Jangan Lupa Pakaian Hitam. Substansi yang terkandung membisikkan pengaruh para jawara dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Banten. 

   Berangkat dari informasi jurnalistik tersebut, sedikitnya telah membangun argumentasi penulis dalam menjelaskan tujuannnya. Dalam artikel itu, Hidayat mengungkapkan hipotesanya terkait keberadaan “jawara berstatus ganda” di Provinsi Banten. Menurutnya, jawara yang ada di Banten tidak semuanya dapat disebut sebagai jawara tulen. Dimana hanya mengandalkan kemampuan pencak silat dan ilmu kedigjayaan yang dimiliki. Akan tetapi, di satu sisi mereka juga berperan rangkap sebagai pengusaha. 

   Sebagai pengusaha tampaknya ada faktor tertentu yang melatarbelakangi mereka untuk membuka akses lain. Sebut saja adanya sikap ambisi untuk mendapatkan akses sumber daya yang dikontrol oleh pemerintah daerah. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor mengapa jawara tersebut berstatus ganda. Perlu dipahami bahwa di satu pihak, sebagai pengusaha mereka dapat memaksimalkan sumber daya keuangan, dan di satu pihak lagi dengan status jawaranya mereka juga dapat menggunakan sumber daya kekerasan.
   Berangkat dari pemaparan di atas tadi, inilah yang mengilhami penulis untuk membangun beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penulisannya. Pertama, betulkah jawara di Banten juga berstatus sebagai pengusaha? Bila ya, apakah para “jawara-pengusaha” memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Banten. Kedua, apakah ada interkorelasi antara peran jawara dan pengusaha pada periode persiapan pembentukan Provinsi Banten khususnya pada proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur dengan peran yang mereka mainkan pada periode “pascapemilihan”. Ketiga, bagaimana akses terhadap pemerintahan daerah dibangun. Keempat, apa saja bentuk dari pola interaksi antara para “jawara-pengusaha” tersebut vis-à-vis pejabat daerah. 

   Melihat fenomena tersebut, setidaknya ada beberapa indikasi kesimpulan yang dikemukakan penulis dalam mengungkapkan investigasinya, yakni dengan melihat pola interaksi antara penguasa, pengusaha, pada khususnya jawara, dan pada umumnya pola hubungan bisnis dan politik di Banten. Setelah melakukan eksplorasi yang lebih mendalam atas kedua kasus premanisme proyek dan pergantian Ayip, secara umum Hidayat dapat mengatakan bahwa memang terdapat indikasi yang cukup kuat tentang adanya dominasi kekuatan politik, dan ekonomi informal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Banten saat itu. Premanisme proyek merupakan kasus yang berakar pada praktik monopoli pelaksanaan fisik proyek-proyek pembangunan pemerintahan daerah Banten pada tahun anggaran 2003. Sedangkan kasus pergantian Ayip terjadi ketika awalnya ia menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Banten yang pertama, namun tiba-tiba saja diberhentikan tanpa melalui prosedur yang semestinya. 

   Fenomena ini mulai terjadi ketika pasangan Djoko Munandar-Atut Chosiyah menjadi gubernur dan wakil gubernur. Hal ini dilatarbelakangi karena adanya konflik pribadi beberapa waktu sebelumnya antara Ayip dan Tuan Besar. Perlu diketahui bahwa Tuan Besar disini merupakan pimpinan dari semacam pemerintahan swasta yang ada di Provinsi Banten. Dimana ia telah berperan besar sebagai sponsor dana dan sponsor politik bagi kedua pasangan gubernur dan wakil gubernur tersebut.  

   Adanya salah satu contoh kasus sebagaimana yang telah dikemukakan tadi yaitu premanisme proyek, secara eksplisit juga telah mengindikasikan penulis bahwa pada tingkat realitas proses pengambilan keputusan, dan implementasi kebijakan di daerah telah diwarnai oleh persekongkolan dan tawar menawar kepentingan di antara local-state actors. Kasus premanisme proyek ini telah mengisyaratkan pada indikasi praktik informal market bersamaan dengan peran dari institusi formal pemerintahan daerah di Provinsi Banten yang mengalami pelemahan, dengan kata lain meminjam istilah Reno (1995) disebut juga sebagai shadow state

   Berkaca dari kasus premanisme proyek dan pergantian Ayip, maka ada beberapa argument yang ingin saya bangun terkait apa yang telah dikemukakan oleh penulis. Setelah jatuhnya rezim orde baru di masa Soeharto, tampaknya semangat untuk mewujudkan cita-cita memiliki provinsi sendiri dalam bentuk kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang terjadi di Banten, tidak selamanya dapat berjalan dengan mulus untuk mengatasi berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di daerah. Faktanya otonomi daerah justru hanya menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya hanya menimbulkan pertentangan kekuasaan dan bisnis. 

   Bisa dilihat ketika pasangan Djoko Munandar-Atut Chosiyah keluar sebagai pemenang dalam pemilihan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Banten periode 2001-2006 yang dimana dibelakang layar mendapatkan dukungan yang sangat besar dari Tuan Besar dan tim suksesnya. Hal ini kemudian berimplikasi pada kekuasaan pemerintahan Provinsi Banten kemudian tidak berdaya dan sangat lemah dalam menjalankan fungsi formalnya dikarenakan adanya kekuatan informal yang dapat mengendalikan Gubernur dan wakilnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya politik “balas budi” dengan perkataan lain ada umpan balik politik dan ekonomi yang harus dibayar oleh pasangan gubernur-wakil gubernur yang telah terpilih. 

   Melemahnya sistem kerja pemerintahan daerah Banten dalam menjalankan fungsi formalnya, dapat dilihat juga ketika kasus premanisme proyek yang mendapatkan tuntutan dari Fraksi Amanat Bintang Keadilan (ABK) dengan mengungkap dan membawa bukti-bukti adanya praktik premanisme proyek yang telah dilakukan oleh Tuan Besar dan kelomponya untuk di bawa ke jalur hukum, justru tidak mendapatkan dukungan penuh dari gubernur dan wakilnya. Padahal dukungan dari kedua pasangan tersebut sangat diperlukan untuk menyelesaikan kasus premanisme proyek di Banten. 

   Dengan melihat kasus premanisme proyek dan pergantian Ayip yang dapat dikendalikan begitu mulus di tangan Tuan Besar dan kelompoknya, sehingga berimplikasi pada mendominasinya peran mereka dalam mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah Banten, dapat saya katakan tampaknya desentralisasi dan otonomi daerah menjadi sesuatu hal yang berbahaya. Pada hakekatnya memang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah membuka ruang ekspresi yang bebas bagi masyarakat dalam pengambilan keputusan ataupun implementasi kebijakan. Akan tetapi, melihat realitas yang terjadi seperti di Banten justru lebih condong untuk membuka jaringan informal semacam adanya pemerintahan swasta yang dipimpin oleh Tuan Besar.

Minggu, 16 Februari 2014

Puisi Cahaya Bulan




akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa

pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

apakah kau masih selembut dahulu

memintaku minum susu dan tidur yang lelap

sambil membenarkan letak leher kemejaku



kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih

lembah Mandalawangi

kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram

meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Lembah Mandalawangi

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu

ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra

lebih dekat

apakah kau masih akan berkata

ku dengar detak jantungmu



kita begitu berbeda dalam semua

kecuali dalam cinta



cahaya bulan menusukku

dengan ribuan pertanyaan

yang takkan pernah ku tahu

dimana jawaban itu

bagai letusan berapi

bangunkan ku dari mimpi

sudah waktunya berdiri

mencari jawaban kegelisahan hati

~ Soe Hok Gie
 
*Ini adalah salah satu puisi favoritku. Puisi ini sering banget aku puter di hpku. Feelnya dapet banget, begitu menggugah jiwa, dan sangat sahdu. Puisi ini menjadi soundtrack dalam film GIE, dibacakan langsung oleh pemeran utamanya Nicholas Saputra, si puitis Rangga di film Ada Apa dengan Cinta (AADC).

Kamis, 13 Februari 2014

Bontang : Episode 7

Setelah episode sebelumnya penulis meramu "negeri di atas laut", lalu ada apa dengan Bontang di episode 7 ini? ceilaa...udah macam sinetron aja yah. Hehe..... Yaaaah...inilah Safni berusaha membawa pembaca sekalian untuk mengetahui alur cerita berbeda disetiap tahapan. Langsung saja guyss mari kita simak ceritanya. Cekidot.....

Episode 7 : 

Setidaknya Bontang patut berbangga karena kota kecil ini pun mampu melahirkan kisah nyata penuh inspiratif yang disajikan dalam bentuk film. Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini namun mata sedang mengantuk, penulis mencoba untuk melakukan review terhadap film tersebut. Review kali ini pastinya rasanya beda banget. Berasa lebih gregetan aja gitu karena beberapa scene dominan dilakukan di Bontang. Belum lagi 2 pemain utamanya (Kak Hudri dan Kak Yahya) kebetulan adalah teman sekaligus tetangga penulis. Oh yah plus kebetulan penulis sempat mengikuti langsung satu scene bertempat di Taman Prestasi Bontang Lestari. Gak ikut nongol di layar lebar sih, tapi setidaknya kan bisa melihat secara live gitu proses pembuatan filmnya. Haha.....  

Penulis bersama Kak Olga Lidya & teman-teman PKT 69 (2013)
Hmmmm...film yang disutradarai Hani R. Saputra ini pada prinsipnya ingin mengemas kepada publik tentang pentingnya sebuah motivasi untuk mencapai impian. Adalah Elaine, Tara, dan Lahang (Kak Hudri) dipertemukan dalam sebuah grup Marching Band. Sebuah kelompok besar yang memiliki misi yang sama besarnya untuk sebuah kemenangan untuk selamanya. Adapun Rene (Titi Rajo Bintang) dengan karakternya yang begitu bersemangat, disiplin, dan penuh target untuk membawa Marching Band Bontang ke tingkat nasional menjadi kekuatan tersendiri, sehingga film ini menjadi lebih hidup. Sebagai pelatih, Rene memiliki tanggung jawab dan tantangan besar dalam memimpin 120 anak Bontang dengan karakter dan latar belakang yang beraneka ragam.
 
Di sela padatnya jadwal latihan, ketiga remaja (Elaine, Tara, dan Lahang) dihadapkan pada ujian yang cukup berat. Tantangan yang dihadapi mereka memang berbeda, tapi mereka dipersatukan dalam satu mimpi yang sama yaitu sebuah kemenangan. Elaine, remaja yang tumbuh dan besar di Jakarta harus dihadapkan pada persoalan dengan papahnya yang sempat menentangnya untuk mengikuti marching band karena dianggap dapat mengganggu aktivitas di Sekolah. 

Sementara Tara memiliki gangguan pendengaran akibat sebuah kecelakaan yang menimpanya di waktu kecil hingga merenggut nyawa sang ayah. Setelah kejadian itu, Tara harus diasuh oleh oma dan opanya karena Ibu Tara harus melanjutkan kuliah ke luar negeri. Demi menuruti kata sang ibu, Tara pun terus berjuang untuk melanjutkan hidupnya. Di lain pihak Lahang, seorang lelaki keturunan Dayak harus hidup dalam dilema. Ia memiliki keinginan kuat untuk terus berkarya, namun  ayahnya mengalami sakit parah yang tidak diketahui penyakitnya. Akibatnya Lahang harus memilih antara mencapai impiannya atau merawat sang Ayah yang sakit parah. Namun, dalam pembacaan penulis Lahang sesungguhnya tetap berusaha agar dapat menyeimbangkan diantara keduanya.
 
Problema kehidupan berbeda yang dihadapi ketiga remaja tersebut telah menghantar mereka untuk berusaha meraih mimpi secara profesional. Berkat kegigihan dan perjuangan, akhirnya grup Marching Band dari kota kecil Bontang ini berhasil memenangkan kompetisi tingkat nasional. Yaaah...sebuah persembahan 12 menit untuk kemenangan selamanya.






Secara visual, pengemasan film ini diracik dengan aura anggun. Keanggunan itu digambarkan melalui hal sederhana dari mimpi sebagian besar anak-anak yang tinggal di daerah kecil, namun diwarnai dengan dinamika semangat, tekat, dan perjuangan penuh kesungguhan. Kesalutan penulis semakin bertambah dengan hadirnya dukungan dari pemerintah daerah dan perusahaan daerah (PT Pupuk Kaltim) yang bisa menjadi mitra pendukung putera-puteri terbaik daerah untuk berprestasi.

Pesan yang dibawa setidaknya mengisyaratkan kepada kita bahwa sejatinya semua kesuksesan tidak dapat dibingkai secara instan. Sebab, prinsipnya kesuksesan itu harus ditaklukkan oleh diri kita sendiri melalui hadirnya segala bentuk ketakutan dan keraguan. Pada akhirnya, penulis memberikan nilai A pada film yang didalamnya diwarnai beranekaragam isu ini. Mulai isu tentang seni, budaya, pendidikan, kearifan lokal, kepeduliaan sosial, cita, dan cinta. 

 *To be continued pada cerita yang terus berbeda di setiap episode :)

Minggu, 09 Februari 2014

Eropa, Aku Padamu


With Rani :)

Ketertarikanku pada Eropa berawal di bangku kuliah. Saat itu, aku suka banget bahas tentang Eropa bareng salah satu sahabat kampusku yang sering aku sebut "Preman Bogor". Haha....Her name is Rani Rustiana. Aku memanggilnya "Preman Bogor" karena dia gadis yang berasal dari Kota Bogor. Sebutan 'preman' karena dia itu jago banget yang namanya karate. Prestasinya di bidang karate patut diacungkan jempol jadi nggak usah diragukan lagi, sampai-sampai dia bisa masuk ke UGM pun karena jalur prestasi olahraganya. Kalau jalan sama Rani tuh rasanya aman meen, berasa terlindungi olehnya jika misal ada yang berani macem-macem. Heheee.... 

Sekatenan bareng
Uuhh...baiklah, ntah apa yang membuat imajinasiku langsung terlintas pada Eropa bukan benua yang lain. Mungkin karena di kepalaku Eropa itu memiliki energi positif, dimana orang-orang tak jarang menjadikannya "buah bibir" sehingga aku pun jatuh hati padanya.


Nah, begitu jatuh hatinya pada Eropa, pas jam kuliah kita tuh kadang sengaja mau duduk paling belakang dekat AC cuma buat main "Eropa-Eropa-an". Belum lagi kita juga dulu sempat sudah mau beli jaket super tebal yang ada "bulu-bulunya" hanya buat persiapan jika suatu saat sudah bisa kesana. Haha... Dulu tuh aku juga sempat suka banget posting di facebook all about Eropa khususnya dari sisi keindahan. Mulai dari Bukit Kahlenberg, Sungai Danube, suasana kota yang modern dan teratur, hingga gedung-gedung antik dengan jalanan bersih dan beberapa bangunan yang menjadi ikon dalam catatan sejarah dunia.

Sungai Danube di Malam Hari
Bangunan Antik The Shard Gedung terjangkung di Eropa

Kadang tuh aku sempat mikir dan membayangkan gimana yah bisa bertahan hidup sebagai muslim disebuah wilayah sekuler, beradaptasi dengan kultur setempat, serta dengan segala keterbatasan menjalankan ibadah dan mencari makanan yang halal. Okesip, sekitar awal Desember 2013 aku patut bergembira karena pertanyaanku tadi sepertinya akan terjawab dengan keluarnya film "99 Cahaya di Langit Eropa". Sejak keluarnya film itu, aku langsung bertekad untuk mengharuskan diri menonton film itu. Aku pun menuju ke Samarinda Central Plaza (SCP) ditemeni Si Qado kesayangan dengan mengendarai motor (PP) alias pulang hari. Gak peduli deh my buttock sampe kempor karena bakal cape di jalan seharian pulang-pergi, asalkan sudah nonton aja rasa cape pasti akan terbayar. Haha...

Alhasil menurutku dari sisi sinematografi waw banget! imbasnya Eropa semakin membuatku klepek-klepek. Pemandangan Vienna dan Paris membuatku tak henti-hentinya mengucapkan takjub. Apalagi didukung soundtrack yang dibawakan Fatin semakin menyentuh hati. Dan, beberapa keindahan visual yang disajikan dalam film tersebut berhasil ngebuat bulu kudukku merinding seperti adegan azan di menara Eiffel, museum louvre yang terpajang lukisan Bunda Maria dimana ujung kain kerudungnya terdapat tulisan kalimat tauhid atau piring-piring hias bertulis Arab Kufic, serta bangunan pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa mulai dari La Defense, Champ Elyses, Obelisk, Arc du Triomphe du Carrousel, Louvre jika ditarik garis lurus imajiner ternyata akan menembus langsung ke arah Ka’ba.

Jalur Pedestrian di Eropa

 

PARIS!!!
Film ini pun telah membuatku terhanyut sehingga serasa ikut mengembara ke Eropa. Akhirnya aku dapat menemukan cukup jawaban dari pertanyaanku di awal tadi tentang bagaimana bisa bertahan hidup di sebuah wilayah sekuler. Benang merah jawaban yang aku temukan adalah tetap bersikap santun dan lembut terhadap orang-orang Eropa non muslim yang meskipun tak jarang masih ada yang memberikan hujatan terhadap islam. Hidup di negara minoritas muslim seperti Eropa memang bukan hal yang mudah, namun kita wajib melakukan upaya untuk mengembalikan citra Islam yang katanya keras agar bisa menjadi lembut. Sebab, itulah sejatinya islam agama yang cinta damai.

Pada akhirnya, aku bertekad suatu saat nanti aku harus bisa menginjakkan kaki menuju Eropa. Yuukss mari berdoa semoga Tuhan yang Maha Baik memberi rezeki yang banyak dan umur panjang kepada aku, kamu, dan kita semua yah guyss agar sama-sama bisa "menyicipi" Eropa sebelum tibanya ajal kita. Amiiiin YRA.....