Minggu, 13 Juli 2014

Review Artikel The Philosophic Foundations of Human Rights



            Jerome J. Shestack dalam tulisan artikelnya “The Philosophic Foundations of human rights”, menyajikan data  terkait dengan bagaimana filosofis dasar dari hak asasi manusia. Melalui Perserikatan bangsa-bangsa suatu badan hak asasi manusia mengesahkan diri di dalam hukum internasional. Hal ini menunjukkan kontras yang cukup tajam pada situasi lima puluh tahun yang lalu ketika tidak ada badan hak asasi manusia dalam skala hukum internasional.

            Yang menjadi pertanyaan mengapa kemudian diperlukan satu ketetapan dasar terkait dengan filosofis hak asasi manusia dalam hukum internasional. Untuk berfilsafat dalam hal ini plato memiliki beberapa point pertimbangan untuk menyelidiki filosofis hukum sebagai tiang penyokong hak asasi manusia.

            Diantaranya sikap diri sendiri ke arah pokok hak asasi manusia. Jika seseorang memahani hukum, dalam hal ini menunjukkan orang tersebut lebih bersedia menerima nasehat kepada penguasa menyangkut hukum internasional hak asasi manusia. Selain itu dijelaskan pula tentang bagaimana pemahaman dasar filosofis dari hukum, sehingga membantu orang memikirkan suatu rumusan terjemahan yang akan mengizinkan bagi para laki-laki  dan perempuan untuk berkata kepada satu sama lain ke arah suatu apa yang dinamakan dengan dogma.

            Di dalam artikel ini pun menyelidiki apa yang kemudian menjadi segmen filosofi ketika penyelidikan dilakukan ke dalam hak asasi manusia. Hal ini dapat diberikan jawabannya bahwa hak asasi manusia sendiri itu adalah satu set prinsip moral dan pertimbangan di dalam etika ilmu.
            Artikel ini dapat dikatakan menjadi alamat pertama yaitu sumber hak asasi manusia dari segi pertimbangan yang memiliki nilai historis, survei berikutnya menjelaskan tentang bagaimana teori modern hak asasi manusia, dan kemudian meneliti sebagian dari konflik yang sekarang ada di dalam teori hak asasi manusia sendiri.  

Beberapa sumber dari hak asasi manusia adalah agama, hukum alam, paham positivis, pendekatan sosiologis dan marxisme. Diantara sumber yang menjadi titik fokus sorotan saya yang cukup menarik adalah di dalam sumber agama untuk memastikan istilah hak asasi manusia  tidak seperti halnya ditemukan di dalam agama yang tradisional. Meskipun demikian, ilmu agama menghadiahi basis untuk suatu teori hak asasi manusia yang membendung dari suatu yang lebih tinggi dibandingkan dengan status yang bersumber siapa yang memiliki status yang tertinggi. Dalam sumber agama ini dijelaskan bahwa agama biasanya memaksakan pembatasan yang dapat dikatakan cukup menjengkelkan atas kebebasan individu. 

Dijelaskan pula bahwa beberapa agama bersifat membatasi ke arah para budak dan wanita-wanita sekalipun semua adalah  ciptaan Tuhan. Sebab pada hakikatnya hak atau kebenaran sendiri di dalam sumber ini menjelaskan berasal dari suatu sumber ilahi, dalam hal ini seseorang tidak dapat dicabut oleh otoritas yang mematikan. Konsep ini tidak hanya ditemukan di dalam tradisi apa yang dinamakan dengan Judeo-Christian, tetapi juga di dalam islam dan agama lain dengan suatu dasar yang disebut sebagai dasar deistic. 

            Di dalam sumber penganut paham teori Marxism bagaimanapun marxisme adalah pandangan para laki-laki dan perempuan bukanlah salah satu individu otonomi dengan hak yang bersifat mengembang dari manapun. Sedangkan positivis lebih banyak mengungkap bahwa fungsi suatu hak asasi manusia merupakan fungsi dari kebudayaan dalam hal ini hukum positivis harus ditaati bagaimana caranya tercapainya suatu keadilan yang merata.

            Selanjutnya dalam penjabaran tentang teori modern pada prinsipnya tidak memulai untuk menuntaskan sesuatu hal yang rumit dan kompleksitas serta literatur menyangkut pokok materi. Lebih dari itu pengembangan teori hak pastinya akan bermanfaat bagi masyarakat luas dalam explorasi ilmiah dan penemuan filosofis baru. (Irma Safni)

Tidak ada komentar: