Jerome J. Shestack dalam
tulisan artikelnya “The Philosophic Foundations of human rights”, menyajikan
data terkait dengan bagaimana filosofis
dasar dari hak asasi manusia. Melalui Perserikatan bangsa-bangsa suatu badan
hak asasi manusia mengesahkan diri di dalam hukum internasional. Hal ini
menunjukkan kontras yang cukup tajam pada situasi lima puluh tahun yang lalu
ketika tidak ada badan hak asasi manusia dalam skala hukum internasional.
Yang menjadi pertanyaan mengapa kemudian diperlukan satu
ketetapan dasar terkait dengan filosofis hak asasi manusia dalam hukum
internasional. Untuk berfilsafat dalam hal ini plato memiliki beberapa point
pertimbangan untuk menyelidiki filosofis hukum sebagai tiang penyokong hak
asasi manusia.
Diantaranya sikap diri sendiri ke arah pokok hak asasi
manusia. Jika seseorang memahani hukum, dalam hal ini menunjukkan orang
tersebut lebih bersedia menerima nasehat kepada penguasa menyangkut hukum
internasional hak asasi manusia. Selain itu dijelaskan pula tentang bagaimana
pemahaman dasar filosofis dari hukum, sehingga membantu orang memikirkan suatu
rumusan terjemahan yang akan mengizinkan bagi para laki-laki dan perempuan untuk berkata kepada satu sama
lain ke arah suatu apa yang dinamakan dengan dogma.
Di dalam artikel ini pun menyelidiki apa yang kemudian
menjadi segmen filosofi ketika penyelidikan dilakukan ke dalam hak asasi
manusia. Hal ini dapat diberikan jawabannya bahwa hak asasi manusia sendiri itu
adalah satu set prinsip moral dan pertimbangan di dalam etika ilmu.
Artikel ini dapat dikatakan menjadi alamat pertama yaitu
sumber hak asasi manusia dari segi pertimbangan yang memiliki nilai historis,
survei berikutnya menjelaskan tentang bagaimana teori modern hak asasi manusia,
dan kemudian meneliti sebagian dari konflik yang sekarang ada di dalam teori
hak asasi manusia sendiri.
Beberapa
sumber dari hak asasi manusia adalah agama, hukum alam, paham positivis,
pendekatan sosiologis dan marxisme. Diantara sumber yang menjadi titik fokus
sorotan saya yang cukup menarik adalah di dalam sumber agama untuk memastikan
istilah hak asasi manusia tidak seperti
halnya ditemukan di dalam agama yang tradisional. Meskipun demikian, ilmu agama
menghadiahi basis untuk suatu teori hak asasi manusia yang membendung dari
suatu yang lebih tinggi dibandingkan dengan status yang bersumber siapa yang
memiliki status yang tertinggi. Dalam sumber agama ini dijelaskan bahwa agama
biasanya memaksakan pembatasan yang dapat dikatakan cukup menjengkelkan atas
kebebasan individu.
Dijelaskan
pula bahwa beberapa agama bersifat membatasi ke arah para budak dan
wanita-wanita sekalipun semua adalah
ciptaan Tuhan. Sebab pada hakikatnya hak atau kebenaran sendiri di dalam
sumber ini menjelaskan berasal dari suatu sumber ilahi, dalam hal ini seseorang
tidak dapat dicabut oleh otoritas yang mematikan. Konsep ini tidak hanya
ditemukan di dalam tradisi apa yang dinamakan dengan Judeo-Christian, tetapi
juga di dalam islam dan agama lain dengan suatu dasar yang disebut sebagai
dasar deistic.
Di dalam sumber penganut paham teori Marxism bagaimanapun
marxisme adalah pandangan para laki-laki dan perempuan bukanlah salah satu
individu otonomi dengan hak yang bersifat mengembang dari manapun. Sedangkan
positivis lebih banyak mengungkap bahwa fungsi suatu hak asasi manusia
merupakan fungsi dari kebudayaan dalam hal ini hukum positivis harus ditaati
bagaimana caranya tercapainya suatu keadilan yang merata.
Selanjutnya dalam penjabaran tentang teori modern pada
prinsipnya tidak memulai untuk menuntaskan sesuatu hal yang rumit dan
kompleksitas serta literatur menyangkut pokok materi. Lebih dari itu
pengembangan teori hak pastinya akan bermanfaat bagi masyarakat luas dalam
explorasi ilmiah dan penemuan filosofis baru. (Irma Safni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar