Sabtu, 17 Mei 2014

Stand PT Pupuk Kaltim Raih Terbaik Ketiga Kategori Industri Pada Pameran Agro and Food 2014


PT Pupuk Kaltim berhasil meraih stand terbaik ketiga kategori industri pada pameran Agro and Food Expo 2014 di Jakarta Convention Center (JCC). Pameran mulai berlangsung Kamis (1/5), namun secara resmi dibuka Jumat (2/5) oleh Suswono selaku Menteri Pertanian Republik Indonesia. 
Resmi dibuka oleh Suswono, Menteri Pertanian RI


Menurut Suswono, pameran ini dikondisikan sebagai media edukasi bagi masyarakat mengenai kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan berbagai keunggulan produk pertaniannya. Lanjutnya, kata dia, pelaku usaha diharapkan memiliki komitmen untuk selalu mengembangkan produk organik dan produk khas pertanian Indonesia, teknologi pendukungnya, serta mendapat kesempatan memperluas jaringan pasar.


Atas kegiatan ini, secara khusus Suswono mengatakan, “saya berterima kasih kepada semua pihak yang membantu kelancaran kegiatan ini, dan memberi apresiasi kepada pengunjung pameran sebagai bagian masyarakat yang bangga dan mencintai produk pertanian dalam negeri,” katanya.    


Kegiatan yang berakhir Minggu (4/5) lalu ini, sekiranya diikuti 139 stand  yang terdiri dari pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, BUMN, perusahaan agribisnis nasional, UKM dan koperasi, serta perusahaan mancanegara yang berasal dari Taiwan, China, dan Singapore.

Kushadi Suryanto selaku koordinator pameran perwakilan PKBL PT Pupuk Kaltim menjelaskan, untuk menjadi stand terbaik meliputi kriteria penilaian, antara lain produk yang dipamerkan, cara pelayanan dan tatanan isi dalam stand, serta minat pengunjung mendatangi stand. “Kita bisa menjadi terbaik ketiga karena stand PT Pupuk Kaltim sangat ramai dikunjungi,” jelasnya. 


Dia mengatakan, ramainya pengunjung disebabkan harganya yang terjangkau dan produk makanan yang dipamerkan Mitra Binaan PKBL PT Pupuk Kaltim dari wilayah Bontang (Kamaluddin), Kaltim (Teguh Saputra), Kalsel (Betty Wita), dan Kalbar (Sri Rohana) memiliki kekhasan tersendiri. Misalnya, aneka hasil laut dari Bontang berupa terasi, udang papai, rumput laut, ikan baronang, dan ikan kakap dengan hasil penjualan Rp. 4.580.000. Ada lagi amplang dan kerupuk gabus dari Kaltim hasil penjualan Rp. 2.180.000, kemudian rambak, usus ayam, pilus keju, ceker ayam, ikan saluang dari Kalsel hasil penjualan Rp. 2.780.000, serta dari Kalbar berupa lempok durian dan kerupuk ikan dengan hasil penjualan Rp. 3.545.000. 


Mitra Binaan PKBL PT Pupuk Kaltim, Kamaluddin, juga mengaku puas atas ramainya pengunjung ke stand perusahaan urea dan amoniak terbesar di Indonesia itu. Pasalnya, produk unggulan yang dipamerkan sebelum hari penutupan telah habis terbeli oleh pengunjung. “Alhamdulilah stand PT Pupuk Kaltim ramai pengunjung, mereka singgah, mengamati, dan membeli hasil produksi lokal yang kita pamerkan, bahkan setelah produk habis beberapa pengunjung masih berminat untuk memesan,” tutupnya. (Irma Safni)

Kamis, 15 Mei 2014

Happy Birthday to us : Safni & Qado

Dirgahayu kami yang jatuh setiap tanggal 15 Mei, pada tahun ini cukup mengesankan. Beberapa alasan diantaranya :

1. Selama hidup, rasa-rasanya baru kali ini 15 Mei jatuh di tanggal merah.

2. Dirgahayu di tahun sebelumnya (2013) menjomblo, tapi tahun ini alhamdulilah statusnya sudah nggak lagi. Hehe.... 
 

3. Spektanya, saya & kekasih saya yang bernama Ahmad Al-Qadri aka Qado, dirgahayunya kami pun sama jatuh pada 15 Mei. Haha...


Tuhan selalu saja memberi saya surprise di setiap memperingati dirgahayu kelahiran, karena itu lagi-lagi saya ingin berterimakasih kepadaNya. Terimakasih Tuhan yang Maha Baik ^_^
 I LOVE U TUHAN

Nah, dalam rangka memperingati dirgahayu Safni & Qado, di bawah ini telah saya buatkan catatan kecil untuk kami berdua :)
 
 




 















Sabtu, 03 Mei 2014

United we stand devided we fall



 
                   United we stand devided we fall, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Ungkapan tersebut menggambarkan betapa pentingnya persatuan dan kesatuan. Sebab, tidak ada kemenangan tanpa kekuatan dan tidak ada kekuatan tanpa persatuan dan kesatuan. Demikian menurut almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman.

            Dengan demikian, untuk meningkatkan citra bangsa kita di mata dunia serta menyelesaikan berbagai problematika yang sekarang kita hadapi, syarat utama dan pertamanya yaitu dengan mempertahankan persatuan dan kesatuan yang selama ini kita bina. Nuansa perbedaan yang muncul dari keragaman di negeri kita ini, tidak mustahil menjadi pemicu lahirnya panatisme buta, persaingan tidak sehat, perselisihan, gontok-gontokan, perpecahan yang bisa meluluh lantakan nilai-nilai persatuan dan kehancuran bagi bangsa kita ini. 
Perpecahan itu ibarat lidi yang keluar dari ikatannya, maka hilang pula kekuatannya. Lalu bagaimana upaya kita dalam memperkokoh persatuan bangsa ini? Di dalam al-quran surat Al-hujurat ayat 13, pada ayat tersebut terdapat kalimat: Agar kamu saling mengenal,menjalin komunikasi yang harmoni dan menebarkan cinta kasih serta kasih sayang yang tiada pilih kasih. Demikian penjelasan Imam Alil ash-Shabuni.

            Dengan demikian, untuk membina persatuan dan kesatuan di negeri tercinta ini langkah awalnya kita harus saling mengenal, saling menghargai, dan bertoleransi di antara kita. Bukan saling menutup diri, melecehkan, menghina, membanggakan kelompok, suku bangsa, maupun daerah masing-masing. Sebab sikap seperti ini merupakan cikal bakal timbulnya perpecahan, pertikaian, dan tidak mustahil menjadi penyebab terjadinya disintegrasi bangsa, hingga hancurnya negeri ini.

Sahabat, apakah rela bangsa besar yang dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu kita, dengan genangan air mata, cucuran keringat bahkan kocoran darah para pahlawan bangsa ini harus porak poranda hanya gara-gara kepentingan kelompok, suku dan golongan? tentu tidak.

            Bagaimanakah kekompakan di negeri kita sekarang? Alhamdulilah seiring dengan semangat gotong royong, seirama dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua,p erbedaan persepsi dan visi dalam pembangunan dirasakan masih dalam rangka fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan.   
 
Oleh karena itu, mulai detik ini kita samakan langkah, seragamkan gerak, satukan persepsi, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Perbedaan jangan melahirkan perpecahan. Tapi dengan perbedaan kita harus saling menghargai dan melengkapi.

Dapat disimpulkan bahwa Persatuan dan Kesatuan merupakan modal kesuksesan bangsa. Untuk mewujudkan persatuan tersebut, langkah awalnya kita harus saling mengenal dan saling menghargai terhadap perbedaan di antara kita. Jika sikap ini yang kita tumbuh kembangkan, maka persatuan bangsa pasti akan terus tercipta. Semoga… Amin YRA

Jumat, 02 Mei 2014

Penguatan Potensi Lokal Melalui Pendidikan dalam Arus Globalisasi



Dalam mata kuliah Perubahan Politik, dimana saya pernah menjadi mahasiswi di dalamnya, ada suatu pembahasan menarik yang menjadi perenungan dalam rahim pemikiran penulis. Ketika itu sedang dilakukan pembahasan terkait globalisasi dan lokalisasi, kemudian dalam kesempatannya Nanang Indra Kurniawan[1] sempat menceritakan bagaimana ada seorang siswa Indonesia yang tidak lulus Ujian Nasional dan tidak lulus dalam penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas ternama di Indonesia, padahal siswa ini memiliki potensi yang cukup besar karena pernah memenangkan olimpiade tingkat Internasional di bidang sains. 


 
Ada lagi kasus dimana banyak orang-orang Indonesia yang berprestasi namun sungguh ironis banyak diantaranya yang justru mengabdikan dirinya bukan di negaranya sendiri, tetapi hidup dan mengembangkan potensinya di negara lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi bila pemerintah mempunyai kebijakan khusus yang tinggi terhadap pendidikan. Pada poin inilah, mengapa kemudian keyword pendidikan menjadi hal yang menarik untuk dituliskan dalam blog ini, dengan mengkaitkan pada pembahasan globalisasi itu sendiri, maka penulis bermaksud memfokuskan dirinya terkait “Penguatan Potensi Lokal Melalui Pendidikan dalam Arus Globalisasi”. Pembahasan secara mendalam dan tajam dengan menggunakan pisau analisis dari berbagai literatur yang dilacak secara cermat berikut akan dijelaskan dalam penulisan ini.


Jika kita kembali berkaca pada sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia menuju pada pencapaian kemerdekaan, maka dapat dilihat bagaimana para pemimpin perjuangan kemerdekaan ketika itu memulai kegiatannya dari bidang pendidikan. Meminjam penjelasan Karlina Leksono-Supelli dan Haryatmoko (2000:252a) dijelaskan bahwa benang merah bagi prasyarat terbentuknya kebangsaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari munculnya kesempatan pendidikan untuk kaum bumiputra pada akhir abad ke-19.


 Bisa dilihat ketika itu dalam Perhimpoenan Indonesia yang dulunya bernama Indonesische Vereeniging yang bermaksud menggalang kesadaran kebangsaan di segala lapisan rakyat Indonesia mencoba mewujudkan semangat dan cita-citanya bukan melalui partai politik, melainkan lewat pendidikan yang dirintis oleh Taman Siswa dan INS (Indonesisch Nederlansche School)[2]. Hal yang kemudian ingin digaris bawahi penulis disini adalah terkait akan pendidikan itu sendiri. Betapa pendidikan telah menjadi suatu hal yang sangat penting dalam proses pemerdekaan. 


Penjelasan pemerdekaan disini adalah terlepasnya suatu bangsa dari penguasaan bangsa lain. Dimana dahulu istilah familiarnya sering disebut sebagai bentuk kolonialisme. Akan tetapi, dalam perkembangannya istilah kolonialisme ini seperti apa yang dikatakan oleh Sindhunata, 2003 dalam Bambang Suteng telah menanamkan benih-benihnya dari apa yang sekarang kita sebut sebagai globalisasi. Misalkan pelaksanaannya dapat melalui kontrol yang kuat terhadap negara-negara berkembang dalam bentuk teori, ideologi, dan proses perubahan sosial mereka di negaranya sendiri. Sehingga dalam bahasa penulis, globalisasi dapat dipahami sebagai suatu bentuk perpanjangan dari kolonialisme pada berabad-abad yang lalu. 


Ada suatu hal yang harus dipahami disini ketika kita ingin mempertanyakan perbedaan globalisasi yang telah tercipta pada abad yang lalu dengan yang ada sekarang, maka secara tajam letak perbedaannya adalah “faktor kecepatan”[3]. Hal ini tidak lain disebabkan karena adanya kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi, transportasi, dan komunikasi misalnya dalam bentuk internet, komputer, faximile, e-mail, dan penerbangan antarnegara. Faktor lain yang coba dijelaskan Nanang Indra Kurniawan dalam pertemuan kuliahnya adalah adanya ekstensivity dan intensivity. Ekstensivity dapat dipahami sebagai suatu perubahan yang menjangkau wilayah etnografis secara meluas dan nyaris tanpa batas. Sedangkan Intensivity lebih kepada adanya perubahan kebiasaan yang mengglobal dalam kehidupan sehari-hari misalkan perubahan pola makanan, pola berpakaian, gaya berbicara, dan lain sebagainya. 


Perlu untuk diperhatikan bahwa globalisasi bertumpu pada kekuatan kapitalisme global yang didukung oleh (1) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang teknologi informasi serta bioteknologi; (2) kerja sama regional dan internasional; (3) kesadaran akan hak-hak asasi manusia dan kekuatan demokrasi serta keadilan gender; (4) pasar bebas yang mendorong persaingan yang tidak seimbang antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang; (5) kesadaran lingkungan[4]


Berangkat dari pernyataan yang telah dikutip tersebut, titik kritis yang kemudian ingin ditekankan penulis yakni ketika globalisasi yang bertumpu pada kekuatan kapitalisme global dengan aspek-aspek pendukung di dalamnya tadi, maka hal ini menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya inilah kemudian tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi masyarakat lokal. Sehingga pertanyaannya adalah tinggal bagaimana caranya masyarakat tersebut dapat menyikapinya secara kritis dan inovatif. 


Kritis dalam artian ada suatu kemampuan dalam memilah maupun menganalisis informasi yang mengalir tak terkendali serta inovatif mampu menentukan pilihan politis bentuk pendidikan seperti apa yang sekiranya relevan untuk masyarakat. Sebab, hal yang dikhawatirkan disini ketika bentuk pendidikan tidak relevan terhadap masyarakat, maka yang terjadi adalah terpenjaranya masyarakat lokal itu di tengah arus globalisasi yang diwujudkan dengan adanya ketergantungan negara-negara berkembang kepada negara-negara industri kaya. 


Jika kita berbicara munculnya ketergantungan antarnegara dan antarbangsa, maka kadarnya pun akan memiliki perbedaan. Sebab di satu pihak negara-negara berkembang yang cenderung dijadikan sasaran atau objek[5] dalam globalisasi tentunya akan memiliki tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara industri kaya seperti Amerika dan Jepang yang lebih sebagai pelaku atau subjek dalam globalisasi. Sekarang permasalahannya adalah ketika negara-negara berkembang seperti halnya dalam masyarakat Indonesia lebih sebagai sasaran atau objek dalam globalisasi, maka ia pun pada prinsipnya akan cenderung membuka diri terhadap pengaruh globalisasi baik itu yang nantinya positif atau negatif. 


Sedangkan Amerika dan Jepang yang merupakan pelaku atau subjek globalisasi yang tidak hanya memiliki investasi besar di seluruh dunia, tetapi juga menjalin hubungan diantara keduanya secara simetris karena kemampuan finansial, sumber daya manusia, dan teknologi yang sama-sama besar akan cenderung mempengaruhi nilai mata uang dan perekonomian negara-negara yang lebih menjadi sasaran atau objek globalisasi tersebut. Munculnya ketergantungan sebagaimana yang telah diungkapkan tadi, telah membuat penulis cukup berpikir keras yakni bagaimana nantinya agar arah pendidikan benar-benar mampu menyikapi secara kritis dan inovatif dalam masuknya berbagai tawaran dunia luar yang mana dapat memunculkan kecenderungan pada terancamnya budaya dan identitas lokal. 


Suatu hal yang sekiranya menjadi perenungan, mengapa kemudian investasi akan pendidikan menjadi basis yang cukup penting dirasakan penulis adalah ketika suatu masyarakat di dalam suatu negara memiliki pendidikan, maka secara bertahap akan melahirkan pula kritisme dari masyarakat itu sendiri. Melalui teorisasi Anthony Giddens dimana globalisasi pada kenyataannya akan membuat sekelompok masyarakat bahkan suatu negara akan memiliki ketergantungan dengan pandangan bahwa segala sesuatunya hidup dalam satu dunia, kita pun akan dapat memahami bahwa pada dasarnya globalisasi dipandang secara berbeda oleh berbagai kaum. 


Di satu sisi oleh kaum skeptis globalisasi hanyalah omong kosong belaka yang mana banyak negara yang hanya memperoleh sedikit manfaat dari perdagangan luar negeri. Sedangkan di sisi lain oleh kaum hiperglobalis, globalisasi lebih dianggap sebagai suatu “berkah” dimana manfaat dan dampaknya dapat dirasakan di mana pun. Sehingga Oleh Kenichi Ohmae[6] lebih sering menyebutnya sebagai sesuatu yang mengarah ke sebuah “dunia tanpa batas”. Mencermati pandangan yang berbeda dari kedua kaum tersebut, sekiranya dapat dipetik suatu pemikiran bahwa globalisasi dengan sendirinya telah memunculkan suatu hal yang seringkali sangat dilematis. Dalam artian kita harus dihadapkan pada pilihan apakah akan menerima globalisasi itu sebagai suatu “berkah” ataukah justru “malapetaka”. 


Poin yang harus dicermati disini adalah ketika globalisasi itu telah menjadi suatu ruang yang tanpa batas, maka hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan. Artinya kemudian apa? Ketika globalisasi merupakan ruang yang tanpa batas dan pesonanya pun memiliki kecepatan yang luar biasa serta menghadirkan dirinya sebagai “wajah bermuka dua” dengan segala pertimbangan akan positif dan negatif, tentunya secara tidak langsung akan menuntut pula masyarakat untuk memiliki pengetahuan akan hal itu. Dengan demikian tantangan yang telah ada dihadapan ini telah memunculkan pemikiran kritis, yakni pendidikan masyarakat lokal sudah seharusnya dipacu bagaimana caranya agar dapat berpikir cepat pula, dan kritis memilah sesuatu hal yang positif tanpa melupakan nilai-nilai budaya lokal di tengah arusnya globalisasi yang segala sesuatunya mudah diakses begitu cepat. 


Mengapa nilai-nilai budaya lokal menjadi hal penting untuk penulis katakan. Sebab terkait dengan adanya intensivity sebagaimana yang telah diungkapkan di atas tadi, yakni adanya perubahan kebiasaan yang mengglobal kemudian menularkan kepada masyarakat lokal melalui pola makanan, pola berpakaian, gaya berbicara, dan lain sebagainya, penulis mengkhawatirkan proses lokalisasi terhadap pergeseran kebiasaan pola hidup sehari-hari yang datang dari budaya luar tadi dapat menghilangkan budaya lokal Indonesia yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. 


Di sinilah kemudian arti penting penguatan lokal melalui pendidikan dalam arus globalisasi. Ketika globalisasi menjadi suatu hal yang dilematis secara praktis pendidikan akan menemukan peranannya. Peran pendidikan yang dimaksud penulis dapat meliputi bagaimana aktor yang terlibat di dalamnya yakni siswa/siswi, mahasiswa/mahasiswi, guru, dosen, lembaga pendidikan itu sendiri, serta pendidikan yang diberikan dalam lingkup keluarga, dimana dapat melalui penanaman nilai-nilai (moral) dan peningkatan mutu pelayanan atau fasilitas pendidikan. Lalu pertanyaannya adalah ketika globalisasi merupakan suatu hal yang dilema bagaimana kemudian peran pendidikan menghadapi tantangan tersebut? Tentunya ada dua pilihan apakah akan masuk dalam arus globalisasi atau menolak globalisasi sebagai suatu hal yang tidak memberikan manfaat.


Menyikapi kedua pilihan tersebut, dalam hal ini penulis berpandangan akan masuk dalam arus globalisasi tersebut yakni dengan catatan penting menerima globalisasi sebagai suatu bentuk untuk meningkatkan kompetensi diri tanpa melupakan nilai-nilai budaya lokal bangsanya sendiri. Peningkatan kompetensi diri ini dapat berupa adanya suatu keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui pendidikan yakni dengan belajar. Sebagaimana nasihat Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Indonesia bahwa “Merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga kuat mempertahankan karena itu ingatlah hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan”[7]


Selain itu bentuk peningkatan kompetensi diri melalui pendidikan di tengah arusnya globalisasi ini, melahirkan pula pemikiran bagi penulis yakni bagaimana dapat memanfaatkan arus globalisasi yang kemajuannya begitu pesat seperti dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi misalnya, melalui internet dan komputer menjadi suatu ruang dimana seseorang dapat mengambil nilai positifnya dalam rangka pengembangan kompetensi diri. Sebagai contoh dapat dicermati melalui kisah nyata yang cukup menarik di bawah ini:


Septinus George Saa, Mutiara Hitam dari Papua

Berharap tidak ada lagi korupsi di Indonesia? Rasanya harapan itu sia-sia. Berharap ada orang Indonesia meraih nobel? Nah, kalau yang ini rasanya bukan mimpi kosong. Setidaknya, harapan itu membersit ketika pertengahan April lalu, Septinus George Saa, seorang putera Papua, memenangi lomba “First Step to Nobel Prize in Physics”. Oge demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya “Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor” itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas. Oge adalah siswa di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan oase disini. Ia mulai menemukan internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia. (Sumber: Kompas, 27 Juni 2004 dalam Listyarti, Retno, Potensi Diri, Jakarta: Esis, 2005, hal. 13-14).



Dari pernyataan di atas tadi, suatu hal yang dapat dijadikan bahan perenungan kembali bahwasanya arus globalisasi memang harus disikapi secara kritis. Di satu sisi globalisasi memang “berkahnya“ tidak begitu dirasakan oleh segelintir orang, namun globalisasi di sisi lain juga perlu untuk disikapi sebagai suatu proses tantangan yang sebaiknya diterima secara positif.  

Berangkat dari semua pemaparan yang telah diungkapkan, dengan demikian butuh perhatian mendalam dalam penguatan potensi masyarakat lokal melalui pendidikan ditengah arus globalisasi yang penuh dengan daya saing tinggi. Sehingga sekiranya tidak berlebihan, jika penulis mengatakan bahwa pendidikan sudah sepantasnya menjadi salah satu strategi yang tidak dapat dikesampingkan. Sebab bagaimanapun syarat utama suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang besar dan maju, maka terlebih dahulu ia harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, kritis, dan inovatif dalam mengelola negaranya sendiri bukan di tangan bangsa lain ataupun membangun potensinya di luar negaranya sendiri sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal. Percuma suatu daerah dengan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah, namun masyarakat di dalamnya tidak dapat mengelolanya. Ironisnya justru mesin pengendalinya kemudian berada di tangan orang-orang asing.



[1]Staf Pengajar di Jurusan Ilmu  Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[2] Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi,  Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 252a
[3] Ibid., hal. 104
[4] Ibid., hal. 252b
[5]Ibid., hal. 105
[6] Kenichi Ohmae adalah salah satu ahli yang menjadi bagian dari kaum hiperglobalis, lihat Suteng, Bambang dkk, dalam  Dampak Globalisasi, Jakarta: Erlangga, 2006, hal. 139
[7] Lihat Ernawati, Rus (ed.), dalam  Indonesia Pada Awal Kemerdekaan, Klaten: Cempaka Putih, 2005, hal. 2  

Kamis, 01 Mei 2014

Memaknai Hari Buruh Sedunia (May Day)


 



 

Salam blogger,

 

Setiap tanggal 1 Mei, saya pasti selalu mendapat sajian menarik di TV terkait demonstrasi besar-besaran para buruh. Dahulu di bangku sekolah, saya hanya bisa melihat dan mendengar curahan hati mereka melalui media, tetapi kini ternyata saya adalah bagian dari mereka. Sebab, dulu saya hanyalah bocah kecil yang tidak tahu menahu apa itu buruh, yang saya tahu hanyalah bagaimana saya hari ini bisa makan, dan bermain bersama teman sebaya saya. Kini, saat saya telah menjadi bagian dari mereka, saya pun mencoba menapaki makna di balik hari buruh sedunia yang tahun ini jatuh pada hari Kamis. Secara esensi, may day tentu mempunyai makna yang begitu mendalam. Ia memberikan pelajaran dan semangat perjuangan yang begitu berharga bagi seluruh rakyat dunia. 

 

Secara historis, may day adalah tonggak kemenangan bagi kaum buruh dalam perjuangan menuntut pengurangan jam kerja dari 12-16 jam per hari menjadi 8 jam perhari, yang diraih melalui perjuangan panjang (Tahun 1886-1890an) yang begitu hebat dengan pengorbanan yang tidak akan pernah ternilai untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan imperialisme (kapitalisme monopoli) yang berlipat-lipat. Sistem kapitalisme yang dimaksud, dimana berlaku sebuah hubungan produksi yang dianggap timpang antara buruh dengan pemilik modal. Bagi pemilik modal, buruh dianggap sama seperti bahan baku atau bahan mentah, upah bagi kaum buruh tidak ditetapkan berdasarkan pembagian keuntungan dari hasil produksi. Padahal, tanpa keberadaan buruh, mesin-mesin termasuk bahan baku yang ada di pabrik tidak akan berubah menjadi barang baru dan tidak pernah akan ada keuntungan disana. Sistem yang demikian ini, secara tidak langsung mensyaratkan pencurian nilai lebih terhadap kaum buruh (Front Perjuangan Rakyat, 2013).

 

Inilah makna yang sesungguhnya dari perjuangan kaum buruh lebih dari seratus tahun yang silam. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa bekerja dengan waktu yang panjang dengan upah yang tidak ditetapkan, hanya akan memberikan keuntungan berlipat bagi para pemilik modal. Jam kerja yang panjang selain hanya akan memberikan super profit bagi kapitalisme, juga akan menghancurkan pengetahuan dan kebudayaan kaum buruh. Sebab, tentu kaum buruh tidak akan memiliki waktu lagi untuk belajar dan meningkatkan pengetahuan di luar jam kerja, kaum buruh juga tidak mempunyai waktu lagi untuk menumpahkan kasih sayang dalam mengurus kehidupan keluarganya, serta tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya.

 

Tahukah kawan, di Indonesia sendiri peringatan hari buruh sedunia (may day) baru mulai kembali dilaksanakan pasca runtuhnya Orde Baru. Perjuangan rakyat di seluruh daerahlah yang pada akhirnya membuat may day kembali marak diperingati. Kronologisnya, mulanya may day di Indonesia disahkan melalui UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun 1948, yang mana dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan, “Pada tanggal 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Namun, karena alasan politik, rezim Orde Baru kemudian melakukan larangan terhadap peringatan Hari Buruh Internasional. Sejak saat itupula, peringatan May Day tidak pernah diakui oleh pemerintah Indonesia. Barulah pasca runtuhnya Orde Baru, melalui perjuangan massa rakyat yang tersebar diseluruh daerah, may day kembali marak diperingati. 

 

Penelusuran yang saya lakukan dalam beberapa media, sekiranya isu ter-hot yang berkembang di kalangan buruh telah menempatkan "upah" sebagai isu utama. Bisa dicermati, pada tahun 2013 kaum buruh terbukti berhasil memenangkan tuntutannya atas upah, dimana kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) secara nasional mencapai 18,32 persen, dengan pencapaian UMP terhadap Komponen Hidup Layak (KHL) mencapai 89,78 persen. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang akrab disapa cak Imin mengatakan, kenaikan UMP 2013 tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur yang mengalami peningkatan 48,86 % dari Rp 1,177 juta menjadi Rp 1.752.073. Sedangkan kenaikan UMP terendah terjadi di Sulawesi Barat yang mengalami kenaikan 3,37% dari Rp 1.127.000 menjadi Rp 1.165.000. Sedangkan dari keseluruhan 33 provinsi di Indonesia, yang menetapkan UMP terbesar adalah DKI Jakarta sebesar Rp 2.200.000 (finance.detik.com, 2013).

 

Meskipun demikian, di beberapa daerah kenaikan UMP sepertinya belum cukup mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Semakin meningkatnya harga kebutuhan pokok, mungkin inilah salah satu alasannya. Pasalnya, dalam rezim SBY-Budiono telah dilakukan berbagai kebijakan mulai pengurangan subsidi sosial yang berakibat pada naiknya harga kebutuhan diantaranya, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), serta konversi minyak tanah menjadi gas elpiji adalah beberapa contoh kebijakan yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan kaum buruh.Tentu masih banyak lagi problema yang telah menjangkit di negeri kita ini. Untuk itulah, saya berharap akan hadir pemimpin yang dengan kesungguhan hati membawa kepentingan rakyat demi terciptanya kehidupan yang sejahtera. Semoga...


~ Happy May Day ^_^