Aku benar-benar merindukan Yogyakarta. Kota yang terkenal sebagai kota pelajar dan berhati nyaman ini, sesungguhnya telah aku anggap sebagai kampung halaman kedua setelah Bontang. Disana, aku pernah menambatkan kisah kasih bersama teman-teman kampus. Selain itu, menambatkan kisah kasih bersama si ehem selama 3 tahun 10 bulan walaupun akhirnya sekarang sudah putus, kemudian bersama teman-teman se-kos, dan lain sebagainya.
Oke baiklah aku mau bilang bahwa Jogja itu punya banyak keunikan, yang sepertinya tidak dapat dihitung dengan jariku yang cuma ada sepuluh. Keunikannya bisa kita teropong dari sisi kesenian, pendidikan, wisata, arsitekturnya, dan lain-lain. Adapun untuk episode kali ini, aku akan bercerita dari sisi pendidikan yaitu, dengan mengajak pembaca sekalian untuk mengetahui bagaimana uniknya pengelolaan keberagaman untuk "membuka diri" di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.
Tentu kalian akan bertanya, mengapa aku mau merangkai cerita tentang SMA ini? Selain karena menurutku memang unik, alasan lain adalah aku pernah beberapa waktu menyempatkan diri berkunjung kesana karena harus promosi acara kampus yang bertajuk Simulation Try Out and Open Faculty buat anak-anak SMA se-Jogja dan Jateng. Dalam acara itu, aku kebetulan ditunjuk teman-teman sebagai ketua, makanya mesti keliling berkunjung ke berbagai SMA, tentunya yah ditemeni pula dengan rekan-rekan panitia yang lain.
Hal
mendasar saat mencoba melakukan pendeskripsian terkait SMA Stella
Duce 2 Yogyakarta adalah sekolah yang berbasis katholik, dan dikhususkan bagi putri. Diselenggarakan oleh Tarekat Suster-suster
Cintakasih Carolus Borromeus (CB), sehingga dalam pengelolaannya pun dikelola
oleh Yayasan Tarakanita. Secara hukum SMA Stella Duce 2 Yogyakarta tersebut berdiri
pada tanggal 19 Juli 1989 yang merupakan alih fungsi dari SPG Stella Duce
Yogyakarta yang sudah berdiri sejak 1 April 1949. Melalui SK Kakanwil Propinsi
DIY atas nama Mendikbud RI No. 011/I.13/Kpts/ 1989 tanggal 28 Januari 1989,
maka secara resmi SPG Stella Duce menjadi SMA Stella Duce 2 Yogyakarta. Keuntungan
utama dari latar belakang pendidikan SPG tersebut adalah bahwa nilai-nilai
didaktis yang diwariskan oleh budaya SPG masih tertanam dalam interaksi
guru-siswi sehingga setiap relasi guru-siswi dilandasi oleh semangat
pendidikan. Konsep "akrab tanpa lupa
jarak" selalu ditanamkan dalam relasi guru-siswi di sekolah ini[1].
Pada tahun 1989 SMA Stella Duce 2 berjuang tanpa status apapun dengan siswa 63
orang yang terbagi dalam 3 kelas. Akan tetapi, perjuangan yang dilakukan
setelah melalui masa-masa tanpa status itu akhirnya membuahkan hasil yaitu setelah
melalui proses akreditasi pada bulan September 1991, statusnya kemudian telah menjadi
DISAMAKAN. Berdasarkan Petikan keputusan yang dilakukan oleh Badan Akreditasi
Sekolah/Madrasah (BAP S/M) Provinsi DIY tanggal 22 November 2008 No
22.01/BAP/TU/XI/2008, SMA Stella Duce 2 Yogyakarta mendapat predikat akreditasi
A[2].
Pendopo Stero tempat biasa mereka melakukan kegiatan ekskul |
Tidak hanya itu, SMA Stella Duce 2 atau yang
biasa disebut pula dengan Stero dengan
berbasis agama katholik ini, juga terkenal dengan sebutannya sebagai Indonesia Mini. Dimana siswi yang masuk kedalamnya begitu beragam mulai dari suku, asal daerah, hingga
agama. Meskipun demikian, Stero disini
tetap membuka diri terhadap keberagaman yang ada termasuk didalamnya adalah
terkait dengan masalah agama. Padahal Stero sendiri adalah sekolah yang sangat diidentikan
sebagai sekolah dengan basis agama katholiknya. Adapun hal yang melandasinya adalah
karena berangkat pula dari latar belakang sejarah yang ada di sekolah tersebut.
Berdirinya Stero bertujuan untuk mencerdaskan kaum perempuan. Dalam perjalanannya,
suster-suster CB ini datang ke bumi Nusantara pertama kali pada tanggal 7
Oktober 1917 di Batavia. Kedatangan Suster-suster CB ke Nederlands Indie
(sebutan Indonesia waktu itu), tidak langsung dapat dilaksanakan karena situasi
dunia yang sedang dilanda Perang Dunia I. Padahal Tarekat CB telah mengikat
kontrak dengan Yayasan Carolus tanggal 2 September 1915, artinya kedatangan
Suster-suster CB terlambat 3 tahun. Suster-suster CB baru dapat berangkat ke bumi
Nusantara tanggal 22 Juni 1918 menggunakan Kapal Frisia dilanjutkan dengan
Kapal Vondel melalui jalur laut utara yang dirasa aman yaitu Norwegia, USA,
Jepang. Setelah kurang lebih 6 bulan berlayar, mereka tiba di Indonesia 7
Oktober 1918 jam 6.00 WIB bertepatan dengan hari raya Pesta Rosario. Kesepuluh
Suster-suster CB yaitu Moeder Alphonsa de Groot, Sr. Hermana Linder, Sr. Justa
Niekerk, Sr. Ambrosina Steenvoorden, Sr. Gratiana Eskens, Sr. Lina Leenen, Sr.
Ignatio Hermans, Sr. Isabella Noorden, Sr. Chrispina Bosman, dan Judith de Laat[3].
Karena yang
mendirikan tadi adalah para suster yang beragama katholik, maka basis
pendidikan di sekolah ini pun adalah katholik. Basis iman Katolik yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan SMA Stella
Duce 2, tentu tidak lepas dari latar belakang para pendirinya. Hal tersebut
kemudian membawa dampak langsung terhadap pelaksanaan pendidikan, yaitu dengan
berbasis pada iman Katolik. Terbukanya ruang bagi perempuan yang ingin menempuh
pendidikan tinggi, tanpa kemudian memandang latar belakang identitas agama
menjadi pintu masuk bagi keberagaman agama itu sendiri di SMA Stella Duce 2.
Sehingga tak heran jika ditemukan ada siswi non-Kristiani yang menempuh
pendidikan di SMA tersebut, dan dihormati apa yang menjadi keyakinan
masing-masing siswi.
Keberagaman
yang hadir karena adanya siswa katolik dan non-katolik, disikapi dalam bentuk pengelolaan terhadap keberagaman itu sendiri.
Salah satu yang dilakukan dengan menerapkan pendidikan religiusitas sebagai mata pelajaran berbasis budi pekerti dan bukan
pendidikan agama Katolik.
Di SMA Stella Duce 2 tidak ada mata pelajaran agama Katolik, yang justru merupakan
salah satu basis identitasnya. Pemilihan menerapkan pendidikan Religiusitas sebagai pengganti mata pelajaran Agama Katolik, merupakan satu bentuk pengelolaan konkrit yang
dilakukan oleh sekolah dalam rangka mengelola keberagaman agama yang ada. Model pendidikan religiusitas ini membicarakan
permasalahan sosial masyarakat pada umumnya, untuk dilihat dari berbagai sudut
pandang agama, tidak hanya Katholik saja.
Pendidikan
religiusitas yang diterapkan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh
sekolah untuk mewadahi siswi-siswi non-Kristiani untuk dapat tetap mempelajari
agamanya, sembari mengenal sudut pandang agama lain. Dari hal tersebut, dapat
diketahui bahwa penerapan pendidikan religiusitas di SMA Stella Duce 2 tidak
hanya sebagai strategi untuk mengakomodir keberagaman agama yang
ada di sekolah ini, namun juga sekaligus sebagai media untuk memperkenalkan
cara pandang agama lain. Shinta, salah satu alumni SMA Stella Duce 2 yang merupakan teman dari teman kampusku Banne, dulu adalah termasuk dalam daftar
siswi non-Kristiani. Ia menjelaskan bahwa di dalam mata pelajaran Pendidikan
Religiusitas, ia bersama dengan teman-teman lain yang non-Katolik pernah
diminta untuk mengenalkan tata cara ibadah yang biasa mereka lakukan sesuai
dengan agama yang dianut di depan teman-teman satu kelasnya.
Dengan
penerapan pendidikan religiusitas ini, siswi kemudian menjadi mengetahui hal
lain di luar agama yang dianutnya. Hal positif yang didapat oleh para siswi
bahwa model pendidikan yang demikian akan dapat mencegah berkembangnya stereotipe
atau bahkan diskriminasi terhadap agama tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar