Dalam film Battle in Seattle yang disutradarai oleh
Stuart Townsend, sebenarnya ingin
menggambarkan kepada kita bagaimana bentuk pengorganisasian massa yang demikian
kuat dan hebatnya untuk meruntuhkan kekuatan kapitalisme yang dimanifestasikan
melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebenarnya sederhana saja apa yang
diinginkan oleh para demonstran ini, yakni untuk menentang segala bentuk kebijakan WTO dan menghentikan
bekerjanya mesin korporasi.
Pada awalnya, aksi ini sebenarnya merupakan niatan protes damai tanpa kekerasan. Akan
tetapi, perlakuan dari aparat kepolisian yang secara kasar memperlakukan para
demonstran dengan menembakkan gas air mata dan memukul para demonstran,
ternyata dengan sendirinya memicu pula pada kemarahan para demonstran. Sehingga
dari sini telah cukup jelas memperlihatkan kepada kita, betapa sebuah pengorganisasian aksi protes yang ada kemudian
berujung pada anarkisme. Bisa dilihat kekerasan yang berwujud pada pengrusakan,
perkelahian antara demonstran dengan aparat kepolisian, hingga pada penjarahan
seakan-akan telah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi. Hal inilah yang
membuat mengapa kemudian media pun dengan gencarnya memberikan sorotan yang
cukup tajam terhadap aksi tersebut. Bahkan tidak tanggung-tanggung seorang
wartawan yang ketika itu sedang meliput pemberitaan, justru memilih berpihak
dengan para demonstran demi memperjuangkan keadilan.
Jika
kita cermati secara cepat, film ini memiliki beberapa fokus aksi pergulatan
yakni, pertama,
konflik internal yang dialami oleh tiga orang aktivis penggerak demonstrasi
yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda. Kedua, munculnya kegelisahan salah seorang aparat kepolisian yang
mau tidak mau harus menjalankan perintah atasan. Ketiga, peran seorang dokter yang menolak keras terhadap
komersialisasi pelayanan kesehatan dan paten obat-obatan yang dianggap
dilakukan melalui jalur legal dalam forum WTO tersebut. Keempat, seorang wartawan yang pada awalnya melakukan peliputan
berita kemudian justru ikut serta mendukung aksi para demonstran. Kelima, dalam forum WTO tersebut
digambarkan pula peran seorang doktor NGO yang mengungkapkan bagaimana kondisi
negara-negara dunia ketiga kepada industri farmasi, sehingga harga produk
bisa diturunkan mengingat
kondisi diluar area pertemuan WTO sedang dilakukan aksi protes secara massal.
Berangkat
dari penggambaran sebagaimana yang telah diungkapkan di atas tadi, jika kita
mau bersikap kritis dalam memaknai film tersebut saya melihat bagaimana
pengorganisasian gerakan secara anarkis sebenarnya memiliki makna keunikan
tersendiri. Dalam banyak hal, anarkisme
terkadang sering dimaknai sebagai suatu tindakan brutal dalam membuat kerusuhan
dan kekerasan yang akhirnya akan berakibat pada kerusakan-kerusakan yang
merugikan. Akan tetapi, dalam pengelolaan gerakan anarkis sebagaimana yang
digambarkan dalam film Battle in Seattle
ini, justru tindak anarkis disini memiliki makna yang cukup berarti daripada
sekedar tindak kekerasan. Saya melihat pengelolaan gerakan anarkis yang
dilakukan demonstran merupakan suatu hal positif, yang mana telah memunculkan satu ikatan
kekuatan yang mampu memberikan kekompakan bagi mereka dalam meruntuhkan
kekuatan Negara yang dianggap berselingkuh dengan korporasi global.
Dapat
kita saksikan dalam pengelolaan protes yang dilakukan misalnya mekanisme untuk
memblokade jalan menuju tempat dimana sidang WTO akan dilaksanakan, tidak ditemui
sedikitpun aksi pemberontakan di jalan. Akan tetapi, mereka lebih
menunjukkan perangkat-perangkat tulisan spanduk dan kostum yang dibuat
sekreatif mungkin yang pada dasarnya memang sengaja dibuat untuk mengundang
sindiran. Bahkan dapat dilihat pula ketika ada salah satu anggota demonstran
yang melakukan pengrusakan terhadap icon
kapitalisme yakni dengan sengaja melempari kaca toko, justru salah satu
pimpinan demonstran melarang sangat keras dan akhirnya berujung pada konflik
perdebatan internal. Sehingga dengan perkataan lain, hal ini telah menunjukkan
kepada kita betapa pengelolaan gerakan anarkisme yang disajikan dalam film
tersebut lebih bermakna sebagai suatu upaya untuk memperjuangkan kebenaran
dengan melalui jalan damai dan menolak segala bentuk kekerasan yang ada.
Pointnya
kemudian adalah gerakan ini harus dipahami tidak semata-mata pada bentuk aksi
protes yang tidak berdasar apa-apa ataupun tidak memiliki peran yang cukup
penting, melainkan ia pun harus dipahami pula sebagai suatu tindak perlawanan
yang diharapkan akan berujung pada kehidupan dunia yang lebih adil dan baik. Sebab
bagaimanapun hal ini harus disadari bahwa konferensi yang dimanifestasikan oleh
WTO ini, pada hakekatnya
merupakan bentuk penjajahan gaya baru yang tentunya banyak kalangan masyarakat
yang nantinya akan merasa tidak diuntungkan dari kebijakan yang dilakukan oleh
WTO tersebut. Jika berkaca pada pandangan P. Raja Siregar dalam tulisannya yang
berjudul Lawan Globalisasi Penjajahan
Baru, maka dalam beberapa point penjelasannya dapat dipahami bahwasanya penjajahan
gaya baru ala WTO ini tujuan sebenarnya kemudian dapat diidentifikasi, yakni
mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara maju dan perusahaan
raksasa dunia.
Oleh
karena itu, demi mencapainya mereka menekan pemerintah dan rakyat agar menjual
habis sumber kehidupannya (agraria dan sumber daya alam), sedangkan air, tanah,
pangan, dan kesehatan yang merupakan hak asasi manusia serta segala peraturan
yang melindungi keberlanjutan kehidupan dianggap hambatan yang harus
disingkirkan. Sehingga tak heran di berbagai negara perampasan akses rakyat
lokal terhadap sumber-sumber kehidupan terus terjadi. Hal ini pun sekiranya
telah tergambar pula dalam perdebatan yang ada bagaimana WTO kemudian dianggap
telah menghilangkan
akses masyarakat miskin di negara berkembang untuk mendapatkan obat-obatan
murah dan berkualitas yang dikarenakan mahalnya hak paten obat untuk dibeli
oleh negara-negara berkembang. Karenanya,
gerakan aksi protes anarkis yang terorganisir sedemikian rapi dalam berbagai
bentuk dan tuntutan oleh ribuan demonstran yang tumpah ruah di sepanjang jalan sebagaimana
apa yang telah digambarkan dalam film Battle
in Seattle, tidak lain merupakan sebagai wujud tindak penolakan dan
tuntutan para demonstran terhadap ketidakadilan yang diciptakan dari kebijakan WTO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar