Ketika kita mendengar
kata Indonesia, maka bayangan yang terlintas di dalam rahim pemikiran kita kemungkinan
akan mengaitkan Indonesia dengan bahasa, bendera merah putih, lagu kebangsaan,
nasionalisme, dan lain sebagainya. Pernahkah mata hati kita terbersit untuk
merenungkan konsep Indonesia sampai hal-hal terkecil sekalipun. Sebagai contoh
mengapa diberi nama Indonesia, mengapa bukan kosakata yang lain saja, bagaimana
Indonesia bisa muncul di permukaan, sehingga bukan suatu hal yang lumrah lagi
ketika seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah sekalipun dapat
dengan mudahnya mengetahui bahwa mereka adalah Indonesia. Lantas, benarkah identitas
Indonesia telah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia dari sabang hingga
merauke? Hal ini lah yang kemudian cukup menarik perhatian penulis untuk
menguraikan konsep identitas kebangsaan Indonesia.
Lahirnya
ikon Indonesia dalam cerita panjang teorisasi sejarah hingga detik ini, tentunya
bukanlah suatu proses yang instan. Ada banyak rintangan yang tentunya harus
dilalui terlebih dahulu. Yang artinya Indonesia sendiri ibarat bayi yang selalu
melakukan proses dalam perjalanan hidupnya, hingga nantinya menjadi dewasa dan
berkembang mengikuti pertumbuhan anatomi, fisiologis serta psikologis dirinya.
Tentunya
telah banyak teorisasi sejarah yang mengungkapakan tentang lahirnya Indonesia
sendiri yang tidak lain berawal dari adanya kolonialisasi. Dalam hal ini
Belanda, Inggris, Portugis dan Perancis telah menjadi lampiran dalam catatan
dokumen sejarah bangsa Indonesia sebagai negara-negara yang pernah melakukan
kolonialisasi. Dimana ketika itu salah satu motif kedatangan mereka hanyalah
berdagang, namun di satu sisi ternyata ada misi tertentu yang terselubung yang
tidak lain adalah ingin melakukan penjajahan. Sehingga dari adanya aktivitas
tersebut, telah berimplikasi pula pada adanya infrastruktur yang membawa efek perubahan sosial.
Diantaranya dengan adanya pembangunan
jalan raya telah menyambungkan komunikasi antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain, sehingga berimplikasi pula semakin meningkatnya volume perdagangan
yang dilakukan oleh rakyat ketika itu. Dari sini, satu point yang dimunculkan
adalah melahirkan suatu identitas baru serta pola hidup baru bagi orang-orang yang
tinggal di wilayah yang telah tersambung tersebut. Terkait hal itu, dijelaskan
pula oleh (Simbolon,1999) bahwa formasi awal terbentuknya keindonesiaan sendiri
karena meliputi adanya kesatuan ekonomi,
kesatuan politik serta kesatuan identitas.
Secara tidak langsung, kerangka
berpikir kita akan menjawab bahwasanya hadirnya negara-negara penjajah di nusantara telah memberikan implikasi yang besar
bagi bangsa Indonesia. Katakanlah perang melawan kolonialisme pada realitanya telah mendorong atau
memfasilitasi penyatuan nusantara, culturstelsel telah melahirkan sistem perkebunan dan
pertanian modern, selain itu kelahiran elit baru di mana ada priyayi,
tentara, dan orang-orang cerdas dapat
dikatakan menjadi transeter suatu perubahan.
Hal yang kemudian ingin diungkapkan disini
adalah apakah identitas yang namanya Indonesia telah melekat secara merata bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan apa makna dari Indonesia sendiri khususnya bagi
orang-orang yang dilahirkan di Indonesia, akan tetapi dapat dikatakan blesteran yaitu, percampuran antara ras
Indonesia dengan ras kewarganegaraan lain sebagai contoh ras Indonesia dengan
campuran ras Jerman, Indonesia dengan Arab dan lain sebagainya. Untuk
mempersempit pembahasan ini, maka penulisan ini akan lebih dikhususkan dengan
melihat pada kenyataan identitas kebangsaan Indonesia dalam ruang lingkup luar
Jawa.
Boleh
saja seorang bayi yang lahir di Madura, misalnya, dianggap oleh orang tua dan
negaranya sebagai seorang warga Indonesia. Padahal, bayi itu sendiri tak akan
semudah itu menjalani dan memahaminya. Apakah dia kelak akan menjadi seorang dengan
semangat, keterlibatan dan berkebudayaan Indonesia, tidak ada pihak yang dapat
menjamin kesuksesannya. Keberlangsungan sebuah bangsa, secara mendasar tetap
membawa sebuah pertanyaan terbuka, dan bahkan sebuah pertaruhan![1]
Mendalami ungkapan dari Ben Anderson tersebut maka ada hal yang harus dicermati
disini yaitu kata kebudayaan yang akan penulis relasikan dengan slogan lawas dalam
nusantara yaitu konsep Bhineka Tunggal Ika. Kalimat “Bhineka tunggal Ika” yang mengandung arti walaupun berbeda-beda
tetapi tetap satu jua, mungkin tidak asing lagi untuk diperdengarkan dalam
khasanah kehidupan sehari-hari. Yang dalam artian Indonesia memiiki banyak
keragaman khas kebudayaan, namun dibalik perbedaan tersebut tetap ada konsep
persatuan yang harus dijunjung tinggi bahwa kita adalah satu bangsa yaitu
bangsa Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam benak pikiran penulis adalah
apakah semua penduduk Indonesia, khususnya bila melihat orang-orang yang berada
di pedalaman mengenal Indonesia? Sebut
saja suku dayak di Kalimantan Timur yang sangat jarang tersentuh oleh dunia
luar dan jauh dari peradaban kota apakah mengenal dirinya sebagai orang
Indonesia? Jangan-jangan identitas kebangsaan Indonesia bagi mereka hanyalah
sebuah untaian kalimat yang manis di bibir, namun substansi pemahaman
nasionalisme kebangsaan Indonesia yang ditanamkan dinilai nihil, dengan
perkataan lain mereka menganggap bahwa bumi Kalimantan tempat dimana sekarang
mereka berpijak justru itulah identitas kebangsaannya. Cukup menggelitik bagi
penulis ketika harus mengatakan persepsi yang lahir bahwasanya adalah mereka
lebih senang disebut dirinya sebagai orang Kalimantan daripada orang Indonesia.
Perjalanan
panjang sejarah yang banyak terukir di pulau Jawa sebagai contoh bapak pendiri
bangsa seperti Soekarno yang berasal dari suku Jawa sebagai orang nomor satu di
Indonesia ketika itu, kemudian letak Ibukota negara Indonesia sendiri yang ada
di pulau Jawa tepatnya di DKI Jakarta telah menjadi beberapa faktor yang
penulis dapat mengatakan cukup mewakili ketika ada sekelompok masyarakat yang
mengungkapkan bahwa Identitas kebangsaan Indonesia pada hakekatnya lebih
melekat pada masyarakat yang terlahir di pulau Jawa. Kata kunci yang dapat
dipahami disini bahwa identitas Indonesia itu adalah pulau Jawa. Lantas timbul
suatu pertanyaan yang cukup dilematis, lalu bagaimana identitas kebangsaan
Indonesia dipahami bagi mereka yang terlahir dari adanya suatu campuran dengan
sebutan lain sebagaimana yang telah diungkapkan di atas tadi yaitu blesteran. Tentunya dalam hal ini, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pertanyaan yang ada dalam imaginasi
penulis. Akan tetapi ruang dan waktu tidak akan cukup untuk menjelaskan hal
tersebut dalam penulisan ini. Sebab, pokok tujuan utama yang ingin diungkapkan
disini adalah lebih memfokuskan pada permasalahan identitas kebangsaan
Indonesia pada masyarakat di luar pulau Jawa.
Pengenalan
identitas Indonesia bagi sebagian masyarakat di luar Jawa sendiri bukanlah suatu
hal yang mustahil. Jika penulis mengatakan bahwa hal ini didapatkan dari adanya
suatu proses pembelajaran yang dapat diperoleh di bangku sekolah, media massa
dan lain sebagainya. Ketika seorang guru mengajarkan kepada murid-muridnya
bahwa kita adalah orang-orang yang terlahirkan sebagai bangsa Indonesia, dimana
ketika itu selama tiga ratus lima puluh tahun Belanda dan sekutunya pernah
menjajah bangsa ini kemudian karena perasaan senasib, maka kita dipersatukan
dalam satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia itulah identitas kita.
Kemudian di lain pihak ketika media massa mengatakan bahwa Indonesia adalah
orang-orang yang dipersatukan dengan keberagaman budaya, maka itulah Indonesia.
Sehingga secara tidak langsung apa yang telah didengarkan, dibaca, dan dilihat
masyarakat dari adanya doktrin tersebut dengan mudahnya kemudian akan berpikir
ternyata identitas kita adalah Indonesia. Sedangkan bagi masyarakat yang berada
di pelosok pedalaman pampang[2]
sebagaimana yang telah dicontohkan di atas tadi, yaitu suku dayak di Kalimantan
Timur yang masih jarang tersentuh oleh proses pendidikan dan teknologi tidak
lain identitas keindonesiaannya masih harus ditelusuri lebih dalam lagi, mengingat
masih kaburnya pemahaman mereka tentang konsep identitas Indonesia sendiri.
Berangkat
dari semua permasalahan tentang konsepsi identitas kebangsaan Indonesia di atas
tadi, maka point permasalahan yang dimunculkan bahwasanya dapat dikatakan
Indonesia sampai detik ini pun ternyata masih menjalani proses pencarian jati
dirinya. Dengan kata lain, Indonesia sendiri belum dapat diketokkan palu untuk disahkan sebagai suatu negara yang telah final. Ibarat pohon yang memiliki banyak
rantingan cabang, apabila dipotong tetap akan terus bercabang hingga
seterusnya, itulah Indonesia terus berproses tiada henti hingga kapan akan
memperoleh titik temunya tidak ada seorang pun yang mungkin bisa menafsirkan
dengan tepat.
Sebagai
suatu negara yang belum final, tentunya bukan suatu hal yang mustahil ketika suatu
saat nanti identitas Indonesia akan tergantikan dengan sebutan negara
Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, atau negara Papua. Sebab dalam perjalanan
sejarahnya ketika dalam semua rezim mulai dari Orde Lama, Orde Baru, sampai
Orde Reformasi sekarang ini Indonesia selalu mengalami jalan buntu untuk
meyelesaikan berbagai problematika yang ada dalam bangsa ini. Sebagaimana dalam
bahasa Remy Syilado[3]
mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negara yang sakit. Lebih lanjut beliau
mengatakan di dalam novelnya yang berjudul “Menunggu Matahari Melbourne” bahwa
nama Indonesia sendiri harusnya diganti, selama ini nama Indonesia hanya
dijadikan sebagai tameng, perisai, zirah, untuk menutup-nutupi penyakit
ketidakmampuan dan ketidakbecusan mengurus negara dan bangsa. Jika nama
Indonesia membuat manusianya atau bangsanya terus sakit-sakitan, dalam hal ini
diumpamakan dengan adanya suatu tradisi penggantian nama di suatu daerah
terhadap seorang anak jika dengan nama tertentu anak tersebut terus
sakit-sakitan, maka dilakukanlah ritual penggantian nama tersebut.
Sebagai
negara yang memiliki berbagai ragam kebudayaan, tentunya disadari bahwasanya
hal tersebut cukup memantik perdebatan dalam bangsa ini. Sikap dilematis pun
terus menjadi hal yang merasuki bagi sebagian etnis masyarakat dan daerah-daerah
yang dapat dikatakan masih jarang tersentuh oleh para aktor dalam
penyelenggaraan negara. Oleh karena itu untuk mengharapkan adanya kesatuan
identitas kebangsaan yaitu Indonesia tanpa terkecuali baik masyarakat yang ada
di pulau Jawa atau di luar pulau Jawa, tampaknya sudah seharusnya secara
perlahan perlu dilakukan pemerataan pilar-pilar pembangunan di segala bidang tanpa
adanya diskriminasi. Sebab tetap harus dipahami bahwa bagaimanapun Indonesia
sendiri melingkupi kesatuan pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan lain
sebagainya. Walaupun dalam perjalanannya masih mengalami bayang-bayang persepsi
tentang identitas kebangsaan Indonesia oleh sebagian kelompok minoritas
khususnya masyarakat yang berada di luar pulau Jawa.
[1] Benedict R.O’G. Anderson,
“Indonesian Nationalism Today and In the Future”, Indonesia 67, (April 1999),CSAP,3. lihat dalam Budi Susanto, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia,
Kanisius, Yogyakarta, 2003.hal. 101.
[2] Salah satu nama desa yang berada
di pelosok pedalaman Kalimantan Timur.
[3] Penulis novel yang cukup
fenomenal khususnya dalam penulisan fakta sejarah Indonesia. Diantara
karya-karyanya yang telah pernah diterbitkan diantaranya Menunggu Matahari
Melbourne, Kerudung Merah Kirmizi, Paris Van Java, 9 dari 10 Kata Bahasa
Indonesia adalah Alif Dannya Munsyi, dan Siau Ling Drama musik Kemempelaian Budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar