Senin, 05 Agustus 2013

Mempertanyakan Identitas Kebangsaan Indonesia


 
Ketika kita mendengar kata Indonesia, maka bayangan yang terlintas di dalam rahim pemikiran kita kemungkinan akan mengaitkan Indonesia dengan bahasa, bendera merah putih, lagu kebangsaan, nasionalisme, dan lain sebagainya. Pernahkah mata hati kita terbersit untuk merenungkan konsep Indonesia sampai hal-hal terkecil sekalipun. Sebagai contoh mengapa diberi nama Indonesia, mengapa bukan kosakata yang lain saja, bagaimana Indonesia bisa muncul di permukaan, sehingga bukan suatu hal yang lumrah lagi ketika seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah sekalipun dapat dengan mudahnya mengetahui bahwa mereka adalah Indonesia. Lantas, benarkah identitas Indonesia telah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia dari sabang hingga merauke? Hal ini lah yang kemudian cukup menarik perhatian penulis untuk menguraikan konsep identitas kebangsaan Indonesia.
 

Lahirnya ikon Indonesia dalam cerita panjang teorisasi sejarah hingga detik ini, tentunya bukanlah suatu proses yang instan. Ada banyak rintangan yang tentunya harus dilalui terlebih dahulu. Yang artinya Indonesia sendiri ibarat bayi yang selalu melakukan proses dalam perjalanan hidupnya, hingga nantinya menjadi dewasa dan berkembang mengikuti pertumbuhan anatomi, fisiologis serta psikologis dirinya.

Tentunya telah banyak teorisasi sejarah yang mengungkapakan tentang lahirnya Indonesia sendiri yang tidak lain berawal dari adanya kolonialisasi. Dalam hal ini Belanda, Inggris, Portugis dan Perancis telah menjadi lampiran dalam catatan dokumen sejarah bangsa Indonesia sebagai negara-negara yang pernah melakukan kolonialisasi. Dimana ketika itu salah satu motif kedatangan mereka hanyalah berdagang, namun di satu sisi ternyata ada misi tertentu yang terselubung yang tidak lain adalah ingin melakukan penjajahan. Sehingga dari adanya aktivitas tersebut, telah berimplikasi pula pada adanya infrastruktur yang membawa efek perubahan sosial. Diantaranya  dengan adanya pembangunan jalan raya telah menyambungkan komunikasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, sehingga berimplikasi pula semakin meningkatnya volume perdagangan yang dilakukan oleh rakyat ketika itu. Dari sini, satu point yang dimunculkan adalah melahirkan suatu identitas baru serta pola hidup baru bagi orang-orang yang tinggal di wilayah yang telah tersambung tersebut. Terkait hal itu, dijelaskan pula oleh (Simbolon,1999) bahwa formasi awal terbentuknya keindonesiaan sendiri karena meliputi adanya  kesatuan ekonomi, kesatuan politik serta kesatuan identitas.

Secara tidak langsung, kerangka berpikir kita akan menjawab bahwasanya hadirnya negara-negara penjajah di nusantara telah memberikan implikasi yang besar bagi bangsa Indonesia. Katakanlah perang melawan kolonialisme pada realitanya telah mendorong atau memfasilitasi penyatuan nusantara, culturstelsel telah melahirkan sistem perkebunan dan pertanian modern, selain itu kelahiran elit baru di mana ada priyayi, tentara, dan orang-orang cerdas dapat dikatakan menjadi transeter suatu perubahan.

 Hal yang kemudian ingin diungkapkan disini adalah apakah identitas yang namanya Indonesia telah melekat secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia, dan apa makna dari Indonesia sendiri khususnya bagi orang-orang yang dilahirkan di Indonesia, akan tetapi dapat dikatakan blesteran yaitu, percampuran antara ras Indonesia dengan ras kewarganegaraan lain sebagai contoh ras Indonesia dengan campuran ras Jerman, Indonesia dengan Arab dan lain sebagainya. Untuk mempersempit pembahasan ini, maka penulisan ini akan lebih dikhususkan dengan melihat pada kenyataan identitas kebangsaan Indonesia dalam ruang lingkup luar Jawa.

Boleh saja seorang bayi yang lahir di Madura, misalnya, dianggap oleh orang tua dan negaranya sebagai seorang warga Indonesia. Padahal, bayi itu sendiri tak akan semudah itu menjalani dan memahaminya. Apakah dia kelak akan menjadi seorang dengan semangat, keterlibatan dan berkebudayaan Indonesia, tidak ada pihak yang dapat menjamin kesuksesannya. Keberlangsungan sebuah bangsa, secara mendasar tetap membawa sebuah pertanyaan terbuka, dan bahkan sebuah pertaruhan![1] Mendalami ungkapan dari Ben Anderson tersebut maka ada hal yang harus dicermati disini yaitu kata kebudayaan yang akan penulis relasikan dengan slogan lawas dalam nusantara yaitu konsep Bhineka Tunggal Ika. Kalimat “Bhineka tunggal Ika” yang mengandung arti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, mungkin tidak asing lagi untuk diperdengarkan dalam khasanah kehidupan sehari-hari. Yang dalam artian Indonesia memiiki banyak keragaman khas kebudayaan, namun dibalik perbedaan tersebut tetap ada konsep persatuan yang harus dijunjung tinggi bahwa kita adalah satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam benak pikiran penulis adalah apakah semua penduduk Indonesia, khususnya bila melihat orang-orang yang berada di pedalaman mengenal Indonesia?  Sebut saja suku dayak di Kalimantan Timur yang sangat jarang tersentuh oleh dunia luar dan jauh dari peradaban kota apakah mengenal dirinya sebagai orang Indonesia? Jangan-jangan identitas kebangsaan Indonesia bagi mereka hanyalah sebuah untaian kalimat yang manis di bibir, namun substansi pemahaman nasionalisme kebangsaan Indonesia yang ditanamkan dinilai nihil, dengan perkataan lain mereka menganggap bahwa bumi Kalimantan tempat dimana sekarang mereka berpijak justru itulah identitas kebangsaannya. Cukup menggelitik bagi penulis ketika harus mengatakan persepsi yang lahir bahwasanya adalah mereka lebih senang disebut dirinya sebagai orang Kalimantan daripada orang Indonesia.

Perjalanan panjang sejarah yang banyak terukir di pulau Jawa sebagai contoh bapak pendiri bangsa seperti Soekarno yang berasal dari suku Jawa sebagai orang nomor satu di Indonesia ketika itu, kemudian letak Ibukota negara Indonesia sendiri yang ada di pulau Jawa tepatnya di DKI Jakarta telah menjadi beberapa faktor yang penulis dapat mengatakan cukup mewakili ketika ada sekelompok masyarakat yang mengungkapkan bahwa Identitas kebangsaan Indonesia pada hakekatnya lebih melekat pada masyarakat yang terlahir di pulau Jawa. Kata kunci yang dapat dipahami disini bahwa identitas Indonesia itu adalah pulau Jawa. Lantas timbul suatu pertanyaan yang cukup dilematis, lalu bagaimana identitas kebangsaan Indonesia dipahami bagi mereka yang terlahir dari adanya suatu campuran dengan sebutan lain sebagaimana yang telah diungkapkan di atas tadi yaitu blesteran. Tentunya dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pertanyaan yang ada dalam imaginasi penulis. Akan tetapi ruang dan waktu tidak akan cukup untuk menjelaskan hal tersebut dalam penulisan ini. Sebab, pokok tujuan utama yang ingin diungkapkan disini adalah lebih memfokuskan pada permasalahan identitas kebangsaan Indonesia pada masyarakat di luar pulau Jawa.

Pengenalan identitas Indonesia bagi sebagian masyarakat di luar Jawa sendiri bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika penulis mengatakan bahwa hal ini didapatkan dari adanya suatu proses pembelajaran yang dapat diperoleh di bangku sekolah, media massa dan lain sebagainya. Ketika seorang guru mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa kita adalah orang-orang yang terlahirkan sebagai bangsa Indonesia, dimana ketika itu selama tiga ratus lima puluh tahun Belanda dan sekutunya pernah menjajah bangsa ini kemudian karena perasaan senasib, maka kita dipersatukan dalam satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia itulah identitas kita. Kemudian di lain pihak ketika media massa mengatakan bahwa Indonesia adalah orang-orang yang dipersatukan dengan keberagaman budaya, maka itulah Indonesia. Sehingga secara tidak langsung apa yang telah didengarkan, dibaca, dan dilihat masyarakat dari adanya doktrin tersebut dengan mudahnya kemudian akan berpikir ternyata identitas kita adalah Indonesia. Sedangkan bagi masyarakat yang berada di pelosok pedalaman pampang[2] sebagaimana yang telah dicontohkan di atas tadi, yaitu suku dayak di Kalimantan Timur yang masih jarang tersentuh oleh proses pendidikan dan teknologi tidak lain identitas keindonesiaannya masih harus ditelusuri lebih dalam lagi, mengingat masih kaburnya pemahaman mereka tentang konsep identitas Indonesia sendiri.
  

Berangkat dari semua permasalahan tentang konsepsi identitas kebangsaan Indonesia di atas tadi, maka point permasalahan yang dimunculkan bahwasanya dapat dikatakan Indonesia sampai detik ini pun ternyata masih menjalani proses pencarian jati dirinya. Dengan kata lain, Indonesia sendiri belum dapat diketokkan palu untuk disahkan sebagai suatu negara yang telah final. Ibarat pohon yang memiliki banyak rantingan cabang, apabila dipotong tetap akan terus bercabang hingga seterusnya, itulah Indonesia terus berproses tiada henti hingga kapan akan memperoleh titik temunya tidak ada seorang pun yang mungkin bisa menafsirkan dengan tepat.

Sebagai suatu negara yang belum final, tentunya bukan suatu hal yang mustahil ketika suatu saat nanti identitas Indonesia akan tergantikan dengan sebutan negara Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, atau negara Papua. Sebab dalam perjalanan sejarahnya ketika dalam semua rezim mulai dari Orde Lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi sekarang ini Indonesia selalu mengalami jalan buntu untuk meyelesaikan berbagai problematika yang ada dalam bangsa ini. Sebagaimana dalam bahasa Remy Syilado[3] mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negara yang sakit. Lebih lanjut beliau mengatakan di dalam novelnya yang berjudul “Menunggu Matahari Melbourne” bahwa nama Indonesia sendiri harusnya diganti, selama ini nama Indonesia hanya dijadikan sebagai tameng, perisai, zirah, untuk menutup-nutupi penyakit ketidakmampuan dan ketidakbecusan mengurus negara dan bangsa. Jika nama Indonesia membuat manusianya atau bangsanya terus sakit-sakitan, dalam hal ini diumpamakan dengan adanya suatu tradisi penggantian nama di suatu daerah terhadap seorang anak jika dengan nama tertentu anak tersebut terus sakit-sakitan, maka dilakukanlah ritual penggantian nama tersebut.

Sebagai negara yang memiliki berbagai ragam kebudayaan, tentunya disadari bahwasanya hal tersebut cukup memantik perdebatan dalam bangsa ini. Sikap dilematis pun terus menjadi hal yang merasuki bagi sebagian etnis masyarakat dan daerah-daerah yang dapat dikatakan masih jarang tersentuh oleh para aktor dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu untuk mengharapkan adanya kesatuan identitas kebangsaan yaitu Indonesia tanpa terkecuali baik masyarakat yang ada di pulau Jawa atau di luar pulau Jawa, tampaknya sudah seharusnya secara perlahan perlu dilakukan pemerataan pilar-pilar pembangunan di segala bidang tanpa adanya diskriminasi. Sebab tetap harus dipahami bahwa bagaimanapun Indonesia sendiri melingkupi kesatuan pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan lain sebagainya. Walaupun dalam perjalanannya masih mengalami bayang-bayang persepsi tentang identitas kebangsaan Indonesia oleh sebagian kelompok minoritas khususnya masyarakat yang berada di luar pulau Jawa.




[1] Benedict R.O’G. Anderson, “Indonesian Nationalism Today and In the Future”, Indonesia 67, (April 1999),CSAP,3. lihat dalam Budi Susanto, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2003.hal. 101.

[2] Salah satu nama desa yang berada di pelosok pedalaman Kalimantan Timur.
[3] Penulis novel yang cukup fenomenal khususnya dalam penulisan fakta sejarah Indonesia. Diantara karya-karyanya yang telah pernah diterbitkan diantaranya Menunggu Matahari Melbourne, Kerudung Merah Kirmizi, Paris Van Java, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Alif Dannya Munsyi, dan Siau Ling Drama musik Kemempelaian Budaya.

Tidak ada komentar: