Kondisi di Papua |
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyelami bagaimana desain pemerintahan asimetris dalam dua produk yang dituangkan di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU No 21 tahun 2001) dan Aceh (UU No 11 tahun 2006). Jika kita melihat adanya pertautan yang cukup memiliki pengaruh kuat dalam sistem tatanan pemerintahan Indonesia yaitu sejak orde baru hingga memasuki masa reformasi, maka sesungguhnya dalam perjalanan tersebut telah melahirkan suatu warna tersendiri bagi bangsa ini. Tidak tanggung-tanggung pula ketika kita melihat bagaimana banyaknya kejadian yang cukup mewarnai bangsa ini misalnya, dalam konteks untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah. Dalam penerapannya, konsep ini ternyata belum mampu menjawab permasalahan yang ada sehingga telah mendorong dimunculkannya solusi baru yaitu adanya pemberian status otonomi khusus (desentralisasi asimetris) seperti yang terjadi di Papua dan Aceh.
Kondisi di Aceh |
Mencoba
memahami apa sebenarnya yang menjadi urgensi dan rasionalitas dari pemberian
OTSUS sebagaimana yang telah diatur di dalam UU yang ada (Papua dalam UU No 21
tahun 2001 dan Aceh UU No 11 tahun 2006), maka bisa jadi disebabkan karena alasan
pembangunan untuk daerah tertinggal, adanya kekurangan akan penerapan
desentralisasi yang sudah ada sebelumnya, atau bekas tindakan separatis. Oleh
karena itu, dalam banyak hal Undang-Undang OTSUS yang diberikan kepada kedua
daerah tersebut, sesungguhnya ingin menjelaskan kepada kita bagaimana adanya
suatu relevansi empirik dari suatu realitas terhadap perbedaan kapasitas setiap
daerah yang kemudian berupaya menjawab persoalan dari apa yang sebenarnya
menjadi kebutuhan daerah.
Jika
kita menelusuri lebih lanjut urgensi pemberian OTSUS tersebut, tentunya juga tidak
lain dikarenakan adanya kekhawatiran terhadap realitas politik yang berkembang dan
dihadapkan pada munculnya kecenderungan perlawanan terhadap pemerintah pusat dan
ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Mencoba
menelusurinya, hal ini sebenarnya dapat terjadi sebab pada masa orde baru, sebut
saja misalnya Papua yang sangat terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya justru
hanya dijadikan bahan eksploitasi oleh negara untuk mendanai proyek-proyek
pembangunan terutama di Pulau Jawa.
Perlakuan
dari negara ini tentu saja dirasa sangat tidak adil oleh masyarakat sehingga dengan
datangnya reformasi, maka pemerintah mencoba melakukan pendekatan yang lebih
adil dan memuaskan kepentingan masyarakat. Disini menjadi penting tentunya, sebab
munculnya loyalitas dan identitas sebagai entitas politik yang ingin memisahkan
diri dari negara kesatuan dengan diwarnai pergolakan dan pemberontakan baik di
Papua dan Aceh, tentu saja akan dapat
mengancam integrasi bangsa sehingga bentuk pemerintahan asimetris yang
diberikan bisa jadi adalah jalan tengah untuk merekatkan kembali kesatuan
nasional dan merajut kembali integrasi bangsa.
Berangkat dari hal
tersebut, tentu kita akan menyadari bahwa desain pemerintahan asimetris yang
diberikan kepada kedua daerah tersebut telah menjadi satu kunci penting. Betapa
tidak kewenangan khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
suatu daerah otonom yakni, dalam hal ini Papua dan Aceh yang dahulunya memiliki
sejarah pergolakan yang begitu masif dan hendak melepaskan diri dari NKRI, sebenarnya
telah menjadi alat ampuh yang mampu membujuk dan merangkul daerah tersebut kembali
ke dalam kesatuan nasional.
Dalam kebijakan ini tentunya
pemerintah pusat telah memberi konsesi-konsesi yang luas kepada daerah otonom
tersebut. Misalnya, di Papua telah diatur indikator kewenangan khusus sehingga
membedakannya dengan daerah-daerah otonom lainnya, dan format khusus yang
mengadopsi karakteristik lokal ke dalam sistem pemerintahan daerahnya. Beberapa
indikator otonomi khusus tersebut antara lain, hadirnya Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan hasil representasi
kultural orang asli Papua, dan memiliki wewenang tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan
terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan
hidup beragama[1],
jabatan gubernur dan wakil gubernur di tempati oleh orang asli Papua, mengatur
sendiri pengelolaan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat, dan memiliki
lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati
diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak
diposisikan sebagai simbol kedaulatan.[2]
Untuk di Aceh pun
demikian adanya, telah diberikan pula transfer kewenangan khusus yang diakui
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat disana. Beberapa
diantaranya yaitu, di bidang sosial budaya,
dibentuk lembaga wali Nanggroe yang merupakan lembaga kepemimpinan adat untuk pemersatu
masyarakat dan sebagai pelestarian kehidupan adat dan budaya[3], terdapat
mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai
pengadilan dan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan
agama yang mana merupakan bagian dari sistem peradilan nasional[4],
adanya Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang anggotanya terdiri atas ulama
dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)[5].
Sedangkan di bidang politik, Aceh diberi kewenangan untuk membentuk partai
politik lokal yang mana dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang
berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan
negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.[6]
Sebagaimana penjelasan
yang telah diuraikan di atas tadi, suatu refleksi dari tulisan ini pun kemudian
ingin memberikan perenungan kepada kita bahwa sebagai suatu negara yang
menganut sistem kesatuan, sudah seharusnya komunitas yang ada di dalam entitas
politik mendapatkan kewenangan khusus dimana mereka dapat mengekspresikan
segala kebutuhan yang sebenarnya diinginkan oleh daerah tersebut sehingga dapat
mengurangi kesenjangan dengan daerah lain sekaligus meningkatkan taraf hidup
masyarakat Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, hal ini telah dipertegas pula oleh Andy Ramses M.
dan Yosmardin dalam tulisannya yang berjudul Politik Desentralisasi dan Desentralisasi Asimetris yang menjelaskan
bahwa dengan adanya pemberian keleluasaan untuk membangun diri dan daerahnya
dengan cara sendiri dalam bentuk otonomi khusus tadi, maka akan sangat mungkin
hanya ada sedikit kesempatan berkembangnya kecenderungan separatisme dan
ambisi-ambisi elit lokal lebih terpuaskan.
Dengan demikian,
otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pun dapat dianggap
sebagai strategi komprehensif guna menarik kembali daerah yang bergolak ke
dalam kesatuan nasional. Tidak hanya itu, lebih lanjut diungkapkan bahwa dalam
pemberian konsep otonomi khusus akan mampu mengakomodasi identitas lokal ke
dalam sistem pemerintahan lokal, dan komunitas lokal pun dapat
mengidentifikasikan diri ke dalam sistem yang bercorak lokal itu. Dengan
begitu, perlawanan terhadap pemerintah nasional dan keinginan untuk
memisahkan diri dapat dieliminir sistem. Pilihan desentralisasi asimetris
sangat mungkin lebih menjamin keutuhan negara, seraya secara evolusi melakukan
rekayasa ke arah timbulnya kesatuan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar