Bagi sebagian orang, khususnya mahasiswa yang pernah menempuh pendidikan
di tanah Jawa, istilah “warung burjo” tentunya bukanlah hal yang asing lagi untuk
didengar. Jika kita cermati warung burjo (bubur kacang ijo), tempat dimana biasanya
menjual makanan berupa bubur kacang hijau, indomie, nasi telur, nasi sarden, dan berbagai
jenis makanan lainnya, dalam banyak hal tidak hanya sekedar sebuah warung
jajanan, tetapi telah merangkap pula sebagai tempat “tongkrongan” yang cukup
dinikmati. Terlebih
apabila warung burjo tersebut berada dilokasi starategis yang dekat dengan
tempat kost, harganya murah, serta
buka selama 24 jam non stop.
Saat aku
menuntut ilmu di Kota Pelajar Yogyakarta, warung
burjo tidak hanya sebagai tempat makan, tetapi juga adalah sebagai tempat mahasiswa untuk mengobrol.
Obrolannya bisa seputar sharing
tentang tugas perkuliahan, curhat dari hati ke hati tentang cinta, hingga mengobrol
terkait hal-hal penting seperti rapat kepanitiaan untuk kegiatan kampus. Selain
itu, warung burjo juga kadang dimanfaatkan mahasiswa sebagai tempat begadang jika ada pertandingan bola tengah malam, serta menjadi tempat
memperpanjang hidup para mahasiswa jika uang kiriman telah menipis.
Perlu diketahui pula bahwa keberadaan warung burjo di
Yogyakarta, dimana-mana hampir disetiap penjuru gang
daerah kost mahasiswa, bisnis ini telah menjadi suatu hal yang tidak sulit
untuk dijumpai. Kepopuleran warung burjo yang banyak diminati oleh kalangan
mahasiswa inilah yang kemudian menjadikan fenomena merebaknya warung burjo
menjadi selalu terkenang
dipikiranku. Heheee…..
Fenomena merebaknya warung burjo,
tentunya tidak dapat lagi dihitung dengan menggunakan hitungan jari. Betapa
tidak, dalam
perkembangannya lahan bisnis ini telah banyak dijadikan oleh sebagian besar
orang untuk mencari sumber penghidupan. Akan tetapi, suatu hal yang perlu untuk
kita cermati disini adalah ketika warung burjo yang telah merebak dimana-mana,
sekiranya kemudian menjadi penting untuk kita lihat terkait dengan ciri khas
yang menjadi pembeda dengan warung burjo lain. Warung burjo dimana notabennya
dikenal sebagai kekentalan budaya sunda tentunya akan memiliki perbedaan bila dibandingkan
dengan warung burjo lain. Sebab untuk di beberapa tempat, terkadang dijumpai
menamakan dirinya sebagai “warung burjo”, namun tidak menjual bubur kacang
hijau. Sehingga ciri khas pembeda tersebut dapat dilihat dari sisi bahasa, warna
warung, tampilan, menu penyajian, dan lain sebagainya.
Bila
kita mendatangi warung burjo yang pedagangnya adalah orang sunda, umumnya dari
sisi bahasa yang digunakan ketika ia berkomunikasi dengan pembelinya, maka ia
akan memanggil dengan sebutan Aa’ atau Teteh. Tidak hanya itu dari warna warung pun, umumnya yang biasa
ditemukan adalah dengan memberi cat warna kuning dan biru. Sedangkan dari menu
penyajian biasanya terdiri dari aneka minuman, gorengan, bubur ayam dan
bubur kacang hijau khas sunda, nasi telur, nasi sarden, indomie rebus telur atau intel
baik intel rebus, maupun intel goreng.
Pada
dasarnya warung burjo mungkin terlihat sederhana. Akan tetapi jika kita amati,
warung burjo yang tersebar di penjuru Yogyakarta dalam jumlah yang tidak
sedikit, semuanya memiliki spanduk “Indomie” yang kebanyakan sama dan semuanya
juga menjual tipe makanan yang sama. Kekhasan lain untuk kita cermati adalah dengan
melihat spanduk nama burjo dengan font dan keterangan yang sama (jenis makanan yang dijual). Kesamaan bentuk
spanduk, desain interior warung dan rasa mie karena menggunakan merek mie
instan yang sama yakni, Indomie menunjukkan adanya aspek daya prediksi yang diaplikasikan para
pedagang burjo. Orang-orang yang datang ke warung burjo pun, sudah tahu menu
apa yang dihadirkan dan seperti apa rasa makanan yang akan dihidangkan disana.
Dari cerita di atas tadi, pointnya
kemudian adalah sekiranya pada kondisi ini menjadi penting untuk kita cermati, bahwa
adanya kesamaan nilai-nilai budaya sunda melalui warung burjo dalam bentuk tiru
meniru yang tidak ada kesepakatan khusus inilah, bisa jadi disebabkan karena
pengusaha burjo yang kebanyakan telah saling kenal dan penjual burjo yang
memang kebanyakan berasal dari budaya yang sama yaitu, sunda.
* Tulisan ini sebagai ungkapan rasa rinduku terhadap Jogja. So...i always missing you
~ Sekian
3 komentar:
burjo cimindi di Klebengan mantap rasanya
Terima Kasih Atas Sampaian Yang Anda Berikan
Salam Kenal dan Sukses Selalu
viagra jakarta
obat cialis
obat pembesar penis
obat kuat
maxman
pilbiru
klg
obat hammer of thor
jogja emang bikin kangen...sekarang warmindonya gaul2 n bertema joglo
Posting Komentar