Banyaknya
permasalahan yang terjadi di negeri ini, tampaknya telah menjadi “cambukan”
tersendiri yang harus menjadi bahan perenungan kita sebagai warga negara yang
peduli terhadap bangsanya. Sebut saja salah satunya adalah merebaknya fenomena
kemiskinan yang
setiap tahun justru semakin mengalami kenaikan kuantitas. Jika kita melihat
bagaimana kuantitas kemiskinan yang dialami antara daerah perkotaan dan perdesaan,
maka angka kemiskinan yang lebih tinggi biasanya akan dialami di daerah
perdesaan.
Misalnya, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menunjukkan bahwa persentase
penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen)
penduduk miskin berada di daerah
perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen.[1]
Akibat dari fenomena ini, tentu saja telah berujung pada dampak negatif yang telah dirasakan oleh penduduk negeri
ini. Salah satunya adalah kurangnya akses masyarakat miskin dalam
setiap urusan pelayanan publik. Seperti beberapa diantaranya pelayanan pendidikan dengan kualitas rendah, biaya kesehatan yang semakin tinggi, kurangnya
kesempatan untuk meningkatkan potensi dan bakat, dan lain sebagainya.
Dihadapkan dengan situasi dan
kondisi seperti ini, penulis mensinyalir bahwa tidak menutup kemungkinan akan hadirnya tingkat migrasi desa-kota yang
demikian besar. Sebab, daerah perkotaan memiliki
daya tarik sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, sehingga mampu menghipnotis bagi sebagian besar
penduduk Indonesia untuk
meraih “kue-kue industrialisasi” yang tumbuh di Kota.
Dalam
beberapa tahun terakhir, perkembangan
daerah perdesaan dan perkotaan telah
menjadi semakin saling berhubungan melalui suatu gerakan yang konstan. Faktanya
adalah bahwa daerah perkotaan dan perdesaan
menjadi semakin terintegrasi sebagai akibat dari transportasi dan komunikasi yang
lebih baik, migrasi desa-kota, dan penyebaran norma-norma perkotaan dan
nilai-nilai di daerah perdesaan.[2] Hal
ini tentunya
telah mengaburkan perbedaan
antara perkotaan dan perdesaan.
Dalam
iklim ekonomi saat ini, daerah perkotaan umumnya diakui sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi sehingga mampu meningkatkan arus urbanisasi,
dan membawa
perhatian terhadap munculnya harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan dari pertumbuhan
ekonomi dan
terjadinya pengurangan kemiskinan yang dirasakan cukup
menjanjikan. Kenyataan yang memang
terjadi bahwasanya pertumbuhan ekonomi di perkotaan lebih
sering menjadi fokus perhatian yang kemudian dianggap
dapat mengurangi kemiskinan.
Akan tetapi, disini
suatu upaya pendekatan dalam penanggulangan
kemiskinan pun kemudian dirasakan menjadi penting untuk menjadi bahan pertimbangan
daerah perdesaan yang
terpencil dan terisolasi,
sehingga pengurangan
kemiskinan khususnya di daerah perdesaan
membutuhkan pendekatan terpadu yang di satu sisi dengan melakukan koneksi ekonomi penduduk
perdesaan
dengan peluang akses ke perkotaan,
seperti pasar perkotaan untuk produk perdesaan,
dan kesempatan kerja bagi penduduk perdesaan.
Di
sisi lain, perlu untuk melakukan penyediaan
layanan dan pengiriman untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik dari penduduk perdesaan.
Dengan kata lain, ada kebutuhan untuk memperkuat hubungan desa-kota di sejumlah
daerah, khususnya hubungan ekonomi (pasar, kerja) dan hubungan fisik (infrastruktur,
transportasi, komunikasi).
Sebagaimana penjelasan
yang telah dipaparkan di atas, maka kemudian menjadi penting untuk dapat menjadi Social Entrepreneur, Agent of Social Change for Indonesia yang mampu berpikir kritis dalam memahami dan mengatasi segala persoalan ketidakberdayaan masyarakat dan kemiskinan khususnya di
perdesaan. Secara sederhana perlu dipahami bahwa pengertian social entrepreneur[3]
disini adalah seseorang
yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change). Keberhasilan social
entrepreneur dapat dilihat dari manfaat yang dapat dirasakan oleh
masyarakat. Misalnya dalam penulisan ini, dengan
melalui pemberdayaan desa produktif untuk melakukan pemerataan pembangunan dengan
mengkoneksikan pertumbuhan ekonomi perdesaan dengan perkotaan yang dapat
dilihat dalam konteks ekonomi lokal di Indonesia.
Dalam suatu istilah yang dikenal dengan sebutan 'Kemitraan bagi Pengembangan Ekonomi Lokal' (KPEL) yang merupakan
salah satu program pemberdayaan masyarakat untuk membangun kemandirian dan
meningkatkan pembangunan ekonomi lokal. Pada dasarnya pendekatan ini berfokus
pada membangun kemitraan yang mempromosikan pembangunan ekonomi lokal melalui
identifikasi peluang pasar baru, menambah nilai dan meningkatkan keterkaitan ke
belakang dan ke depan untuk komoditas ekspor. KPEL juga merupakan salah satu
model yang ditawarkan oleh BAPPENAS untuk membantu pemerintah daerah dalam
mengatasi kemiskinan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi lokal, serta
memperkuat demokrasi dan pemberdayaan masyarakat melalui fasilitas kemitraan
publik dan swasta.
Untuk pemilihan studi kasus,
selanjutnya dalam hal ini telah dilakukan dengan penekanan khusus pada dua
aspek. Pertama, program Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) pada intervensi yang dilakukan oleh pemerintah
dan anggota masyarakat sipil, seperti studi kasus yang ada di Tanggamus
Provinsi Lampung . Kedua,program KPEL yang tanpa intervensi, sebagai contoh
studi kasus yang ada di desa Kasongan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
terkenal dengan produk gerabah dan telah menjadi tempat wisata.
ü
~ Kabupaten Tanggamus
KPEL secara resmi diluncurkan di
Lampung pada Maret 2001. Program ini difokuskan pada produksi kopi mengikuti
rekomendasi laporan penelitian mengenai potensi pasar. Proyek ini mengatur
kemitraan di Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus. Misi dari kemitraan ini
adalah untuk memperkuat kemampuan produsen kopi dan prosesor untuk bersaing di
pasar internasional. Mengingat jatuhnya harga kopi dunia hanya sebelum
peluncuran, kemitraan perlu kreatif tentang bagaimana mendukung petani dan
untuk memastikan upaya untuk meningkatkan kualitas produk lokal untuk mengambil
harga yang lebih baik. Disini KPEL bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan dengan prioritas dukungan untuk petani kopi dengan anggaran dari
Pemerintah sebesar Rp. 650 juta untuk peralatan, pemasaran dukungan dan
pelatihan.
Dampak program keterlibatan
pemerintah daerah memainkan peran penting dalam hal kinerja peningkatan
kemitraan dan untuk memotivasi para pemangku kepentingan lainnya untuk
berpartisipasi. Kemitraan ini terdiri dari 16 dinas diantaranya, adalah dinas pertanian,
dinas kehutanan dan perkebunan, bersama dengan Bappeda. Keberhasilan utama dari
pengembangan kemitraan awal dihasilkan dari pemimpin lokal (kepala Bappeda
Kabupaten Tanggamus sebagai badan yang bertanggung
jawab atas perencanaan fisik dan non-fisik di Kabupaten ini). Wewenang Bappeda
sebagai badan pemerintah daerah yang dapat mengkoordinasikan beberapa dinas
memungkinkannya untuk memaksa dinas lain untuk secara aktif terlibat dalam KPEL
(seperti dinas Pertanian, dinas Kehutanan dan Perkebunan).
ü~ Desa Kasongan, Daerah
Istimewa Yogyakarta
Pengembangan
Desa Kasongan telah melalui banyak transformasi dan juga telah menjadi tempat
pasar untuk permintaan kerajinan yang
datang dari luar desa. Sebuah studi (yang
dilakukan oleh AKATIGA) disebutkan bahwa selama krisis (1997) permintaan pasar
telah meningkat dari permintaan lokal dan internasional. Meskipun harga bahan
baku telah meningkat khususnya cat, tetapi tetap saja bisa
dikompensasi melalui harga jual yang lebih tinggi. Salah satu bentuk
contoh kemitraan di desa kasongan adalah
kerjasama
koperasi yang disebut Satya KOPINKRA
dengan
Universitas Seni di Yogyakarta.
Produksi-produksi yang ada di desa ini adalah buatan
tangan dan desain yang disesuaikan dengan baik di pasar domestik dan luar
negeri. Koperasi adalah dasar kemitraan. Para produsen menerima pelatihan dan
informasi dari koperasi dan Universitas Seni di Yogyakarta yang membantu mereka
dengan desain dan produksi terutama melalui saluran individu. Pelajaran yang
dipelajari adalah produsen harus menjaga keseimbangan antara persaingan dan
komunikasi di antara mereka sendiri sebagai kunci keberhasilan kemitraan. Disini dalam kaitannya dengan intervensi pemerintah
menunjukkan bahwa intervensi dari
pemerintah lokal saat ini
adalah
bersifat tidak langsung. Misalnya pemerintah
daerah dalam
hal ini tidak membebankan atau
memasukkan pungutan atau
retribusi kepada produsen/perusahaan untuk mengekspor.
Selain itu, pemerintah
daerah juga menyediakan pelatihan, penyediaan peralatan dan mengatur UPT (Unit
Pelayanan Teknis) atau Unit Teknis. UPT berfungsi sebagai pusat pelatihan dan showroom. Dampak
dari perkembangan desa Kasongan telah menarik banyak wisatawan yang datang dari
dalam negeri dan luar negeri, dan ini telah membuat desa kasongan dikenal pula sebagai
desa tujuan
wisata. Sehingga
dampak dari itu semua telah
menciptakan penyebaran kegiatan ekonomi ke
daerah tetangga, dan desa Kasongan telah menjadi tempat pasar untuk kerajinan
tangan yang dibuat di tempat lain (di luar kabupaten dan provinsi).
Dari penggambaran kasus
tadi, apabila dicermati hadirnya peran
intervensi pemerintah memiliki dampak penting. Berdasarkan
kasus-kasus tersebut, hal itu telah menunjukkan
bahwa kunci
keberhasilan pembangunan pada dasarnya tidak semata-mata ditentukan dari adanya
intervensi pemerintah. Akan tetapi,
justru
kepemimpinan lokal dengan visi dan
komitmen untuk membantu memberikan motivasi dalam setiap kegiatan ekonomi agar
dapat memperbaiki kehidupan masyarakat, serta kesediaan dari pihak lokal (pengrajin, petani) untuk memperbaiki diri
terus menerus lah, yang kemudian cukup memainkan
peran penting dalam melakukan proses
pencapaian keberlanjutan dari kegiatan ekonomi.
Meskipun
demikian, dukungan pemerintah setempat juga memberikan kontribusi pada suatu keberlanjutan kegiatan ekonomi.
Tentunya dengan asumsi
selama peran
kinerja yang dilakukan berada pada posisi
yang
benar. Di KPEL non-intervensi, peran intervensi pemerintah
memang
tidak begitu kuat, tetapi peran mereka
masih dapat
dilakukan secara tidak langsung. Dengan demikian untuk mewujudkan
tercapainya itu semua, harus ada keberanian untuk membentuk social entrepreneur, agent of social change for Indonesia, dan
berupaya mendapatkan
dukungan semua pihak yang
mendambakan terwujudnya kesejahteraan rakyat yang merata, dan rencana aksi yang nyata sehingga hasil manfaatnya
benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.
[1] Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No.
45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, hal. 2, Diunduh melalui http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf (online).
[2]
Rural-Urban Linkages for poverty reduction: A review of selected approaches from asia and
the pacific, United
Nations, 2005.
[3] Lihat Setyanto P. Santosa, Peran Social Entrepreneurship Dalam
Pembangunan, hal. 1, Diunduh melalui http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PERANSOCIALENTREPRENEURSHIPDALAMPEMBA
GUNAN.pdf (online).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar