Sabtu, 19 April 2014

Social Entrepreneur, Agent of Social Change for Indonesia Melalui Pemberdayaan Desa Produktif



Banyaknya permasalahan yang terjadi di negeri ini, tampaknya telah menjadi “cambukan” tersendiri yang harus menjadi bahan perenungan kita sebagai warga negara yang peduli terhadap bangsanya. Sebut saja salah satunya adalah merebaknya fenomena kemiskinan yang setiap tahun justru semakin mengalami kenaikan kuantitas. Jika kita melihat bagaimana kuantitas kemiskinan yang dialami antara daerah perkotaan dan perdesaan, maka angka kemiskinan yang lebih tinggi biasanya akan dialami di daerah perdesaan. 
Misalnya, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen.[1] Akibat dari fenomena ini, tentu saja telah berujung pada dampak negatif yang telah dirasakan oleh penduduk negeri ini. Salah satunya adalah kurangnya akses masyarakat miskin dalam setiap urusan pelayanan publik. Seperti beberapa diantaranya pelayanan pendidikan dengan kualitas rendah, biaya kesehatan yang semakin tinggi, kurangnya kesempatan untuk meningkatkan potensi dan bakat, dan lain sebagainya. 

Dihadapkan dengan situasi dan kondisi seperti ini, penulis mensinyalir bahwa tidak menutup kemungkinan akan hadirnya tingkat migrasi desa-kota yang demikian besar. Sebab, daerah perkotaan memiliki daya tarik sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, sehingga mampu menghipnotis bagi sebagian besar penduduk Indonesia untuk meraih “kue-kue industrialisasi” yang tumbuh di Kota.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan daerah perdesaan dan perkotaan telah menjadi semakin saling berhubungan melalui suatu gerakan yang konstan. Faktanya adalah bahwa daerah perkotaan dan perdesaan menjadi semakin terintegrasi sebagai akibat dari transportasi dan komunikasi yang lebih baik, migrasi desa-kota, dan penyebaran norma-norma perkotaan dan nilai-nilai di daerah perdesaan.[2] Hal ini tentunya telah mengaburkan perbedaan antara perkotaan dan perdesaan

Dalam iklim ekonomi saat ini, daerah perkotaan umumnya diakui sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga mampu meningkatkan arus urbanisasi, dan membawa perhatian terhadap munculnya harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan dari pertumbuhan ekonomi dan terjadinya pengurangan kemiskinan yang dirasakan cukup menjanjikan. Kenyataan yang memang terjadi bahwasanya pertumbuhan ekonomi di perkotaan lebih sering menjadi fokus perhatian yang kemudian dianggap dapat mengurangi kemiskinan

Akan tetapi, disini suatu upaya pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan pun kemudian dirasakan menjadi penting untuk menjadi bahan pertimbangan daerah perdesaan yang terpencil dan terisolasi, sehingga pengurangan kemiskinan khususnya di daerah perdesaan membutuhkan pendekatan terpadu yang di satu sisi dengan melakukan koneksi ekonomi penduduk perdesaan dengan peluang akses ke perkotaan, seperti pasar perkotaan untuk produk perdesaan, dan kesempatan kerja bagi penduduk perdesaan. 

Di sisi lain, perlu untuk melakukan penyediaan layanan dan pengiriman untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik dari penduduk perdesaan. Dengan kata lain, ada kebutuhan untuk memperkuat hubungan desa-kota di sejumlah daerah, khususnya hubungan ekonomi (pasar, kerja) dan hubungan fisik (infrastruktur, transportasi, komunikasi). 

Sebagaimana penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka kemudian menjadi penting untuk dapat menjadi Social Entrepreneur, Agent of Social Change for Indonesia yang mampu berpikir kritis dalam memahami dan mengatasi segala persoalan ketidakberdayaan masyarakat dan kemiskinan khususnya di perdesaan. Secara sederhana perlu dipahami bahwa pengertian social entrepreneur[3] disini adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change). Keberhasilan social entrepreneur dapat dilihat dari manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Misalnya dalam penulisan ini, dengan melalui pemberdayaan desa produktif untuk melakukan pemerataan pembangunan dengan mengkoneksikan pertumbuhan ekonomi perdesaan dengan perkotaan yang dapat dilihat dalam konteks ekonomi lokal di Indonesia.

Dalam suatu istilah yang dikenal dengan sebutan 'Kemitraan bagi Pengembangan Ekonomi Lokal' (KPEL) yang merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat untuk membangun kemandirian dan meningkatkan pembangunan ekonomi lokal. Pada dasarnya pendekatan ini berfokus pada membangun kemitraan yang mempromosikan pembangunan ekonomi lokal melalui identifikasi peluang pasar baru, menambah nilai dan meningkatkan keterkaitan ke belakang dan ke depan untuk komoditas ekspor. KPEL juga merupakan salah satu model yang ditawarkan oleh BAPPENAS untuk membantu pemerintah daerah dalam mengatasi kemiskinan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi lokal, serta memperkuat demokrasi dan pemberdayaan masyarakat melalui fasilitas kemitraan publik dan swasta. 


Untuk pemilihan studi kasus, selanjutnya dalam hal ini telah dilakukan dengan penekanan khusus pada dua aspek. Pertama, program Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) pada intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan anggota masyarakat sipil, seperti studi kasus yang ada di Tanggamus Provinsi Lampung . Kedua,program KPEL yang tanpa intervensi, sebagai contoh studi kasus yang ada di desa Kasongan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terkenal dengan produk gerabah dan telah menjadi tempat wisata.

ü  ~ Kabupaten Tanggamus
KPEL secara resmi diluncurkan di Lampung pada Maret 2001. Program ini difokuskan pada produksi kopi mengikuti rekomendasi laporan penelitian mengenai potensi pasar. Proyek ini mengatur kemitraan di Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus. Misi dari kemitraan ini adalah untuk memperkuat kemampuan produsen kopi dan prosesor untuk bersaing di pasar internasional. Mengingat jatuhnya harga kopi dunia hanya sebelum peluncuran, kemitraan perlu kreatif tentang bagaimana mendukung petani dan untuk memastikan upaya untuk meningkatkan kualitas produk lokal untuk mengambil harga yang lebih baik. Disini KPEL bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dengan prioritas dukungan untuk petani kopi dengan anggaran dari Pemerintah sebesar Rp. 650 juta untuk peralatan, pemasaran dukungan dan pelatihan.  
 

Dampak program keterlibatan pemerintah daerah memainkan peran penting dalam hal kinerja peningkatan kemitraan dan untuk memotivasi para pemangku kepentingan lainnya untuk berpartisipasi. Kemitraan ini terdiri dari 16 dinas diantaranya, adalah dinas pertanian, dinas kehutanan dan perkebunan, bersama dengan Bappeda. Keberhasilan utama dari pengembangan kemitraan awal dihasilkan dari pemimpin lokal (kepala Bappeda Kabupaten Tanggamus sebagai badan yang bertanggung jawab atas perencanaan fisik dan non-fisik di Kabupaten ini). Wewenang Bappeda sebagai badan pemerintah daerah yang dapat mengkoordinasikan beberapa dinas memungkinkannya untuk memaksa dinas lain untuk secara aktif terlibat dalam KPEL (seperti dinas Pertanian, dinas Kehutanan dan Perkebunan).

ü~ Desa Kasongan, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengembangan Desa Kasongan telah melalui banyak transformasi dan juga telah menjadi tempat pasar untuk permintaan kerajinan yang datang dari luar desa. Sebuah studi (yang dilakukan oleh AKATIGA) disebutkan bahwa selama krisis (1997) permintaan pasar telah meningkat dari permintaan lokal dan internasional. Meskipun harga bahan baku telah meningkat khususnya cat, tetapi tetap saja bisa dikompensasi melalui harga jual yang lebih tinggi. Salah satu bentuk contoh kemitraan di desa kasongan adalah kerjasama koperasi yang disebut Satya KOPINKRA dengan Universitas Seni di Yogyakarta. 
Produksi-produksi yang ada di desa ini adalah buatan tangan dan desain yang disesuaikan dengan baik di pasar domestik dan luar negeri. Koperasi adalah dasar kemitraan. Para produsen menerima pelatihan dan informasi dari koperasi dan Universitas Seni di Yogyakarta yang membantu mereka dengan desain dan produksi terutama melalui saluran individu. Pelajaran yang dipelajari adalah produsen harus menjaga keseimbangan antara persaingan dan komunikasi di antara mereka sendiri sebagai kunci keberhasilan kemitraan. Disini dalam kaitannya dengan intervensi pemerintah menunjukkan bahwa intervensi dari pemerintah lokal saat ini adalah bersifat tidak langsung. Misalnya pemerintah daerah dalam hal ini tidak membebankan atau memasukkan pungutan atau retribusi kepada produsen/perusahaan untuk mengekspor

Selain itu, pemerintah daerah juga menyediakan pelatihan, penyediaan peralatan dan mengatur UPT (Unit Pelayanan Teknis) atau Unit Teknis. UPT berfungsi sebagai pusat pelatihan dan showroom. Dampak dari perkembangan desa Kasongan telah menarik banyak wisatawan yang datang dari dalam negeri dan luar negeri, dan ini telah membuat desa kasongan dikenal pula sebagai desa tujuan wisata. Sehingga dampak dari itu semua telah menciptakan penyebaran kegiatan ekonomi ke daerah tetangga, dan desa Kasongan telah menjadi tempat pasar untuk kerajinan tangan yang dibuat di tempat lain (di luar kabupaten dan provinsi).

Dari penggambaran kasus tadi, apabila dicermati hadirnya peran intervensi pemerintah memiliki dampak penting. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, hal itu telah menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pembangunan pada dasarnya tidak semata-mata ditentukan dari adanya intervensi pemerintah. Akan tetapi, justru kepemimpinan lokal dengan visi dan komitmen untuk membantu memberikan motivasi dalam setiap kegiatan ekonomi agar dapat memperbaiki kehidupan masyarakat, serta kesediaan dari pihak lokal (pengrajin, petani) untuk memperbaiki diri terus menerus lah, yang kemudian cukup memainkan peran penting dalam melakukan proses pencapaian keberlanjutan dari kegiatan ekonomi.
 
Meskipun demikian, dukungan pemerintah setempat juga memberikan kontribusi pada suatu keberlanjutan kegiatan ekonomi. Tentunya dengan asumsi selama peran kinerja yang dilakukan berada pada posisi yang benar. Di KPEL non-intervensi, peran intervensi pemerintah memang tidak begitu kuat, tetapi peran mereka masih dapat dilakukan secara tidak langsung. Dengan demikian untuk mewujudkan tercapainya itu semua, harus ada keberanian untuk membentuk social entrepreneur, agent of social change for Indonesia, dan berupaya mendapatkan dukungan semua pihak yang mendambakan terwujudnya kesejahteraan rakyat yang merata, dan rencana aksi yang nyata sehingga hasil manfaatnya benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.





[1] Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, hal. 2, Diunduh melalui http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf (online).

[2] Rural-Urban Linkages for poverty reduction: A review of selected approaches from asia and the pacific, United Nations, 2005. 


[3] Lihat Setyanto P. Santosa, Peran Social Entrepreneurship Dalam Pembangunan, hal. 1, Diunduh melalui http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PERANSOCIALENTREPRENEURSHIPDALAMPEMBA GUNAN.pdf (online).

Tidak ada komentar: