Minggu, 13 April 2014

Kegalauan Mencari Kebenaran Ilmiah

Sempat dibuat galau tentang pencarian jati diri dari sebuah "kebenaran ilmiah", karena itu keluarlah catatan saya ini.   

~ Selamat membaca dan mencerna filsafat pemikiran di bawah ini.

 
Manusia sejak dilahirkan di dunia, tentunya akan selalu memiliki rasa ingin tahu walaupun dalam bentuk terkecil sekalipun. Dari rasa ingin tahu itulah, kemudian manusia dalam perkembangannya akan mendapatkan apa yang dinamakan dengan pengetahuan. Hal ini pula yang mungkin hendak diungkapkan oleh Aristoteles dalam mengawali metafisikanya dengan pernyataaannya bahwa“setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Kalau anak jaman sekarang, mengistilahkan "keingintahuan" itu katanya bahasa kerennya disebut "kepo". Hehe... (Yuks...lanjut serius lagi)

Satu hal yang perlu kita pahami bahwa sebelum memahami suatu pengetahuan, secara lebih mendalam tentunya kita akan membutuhkan suatu kerangka berpikir yang sangat sistematis dalam mencapai apa yang disebut sebagai kebenaran ilmiah. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam rahim pemikiran saya adalah apakah pengetahuan manusia untuk memperoleh kebenaran berasal dari akal budi ataukah sesuatu yang berasal dari pengalaman akan realitas objektif ?.

Pemahaman dasar yang perlu kita ketahui bahwasanya cukup menarik, ketika saya pernah mendengar bahwa sesungguhnya pengetahuan itu merupakan peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Dimana objek pengetahuan dan manusia yang posisinya sebagai subjek pengetahuan memegang peranan penting. Ketika manusia memfokuskan diri atau dengan kata lain terarah terhadap objek, hal inilah yang kemudian merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan munculnya pengetahuan dalam diri setiap manusia. 

Hal yang perlu dicatat disini bahwasanya terarahnya manusia terhadap objek tersebut hanya mungkin menimbulkan pengetahuan jika dalam diri manusia sebagai subjek sudah terdapat kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu yang memungkinkan manusia dapat mengenal dan menangkap objek yang diamatinya.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, pengetahuan itu hanya akan mungkin terwujud jika manusia sendiri adalah bagian dari objek, dari realitas di alam semesta ini. Di poin inilah kemudian proses pengetahuan mengalami penegasan dalam pemahaman umum bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dengan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya, serta melewati proses kerja adanya hipotesis, verifikasi, sampai pada akhir penyusunan proposisi.

Di poin ini juga sesungguhnya dapat kita pahami bahwa pengetahuan kemudian terakumulasi menjadi suatu ilmu. Pada dasarnya, konsep ilmu sebagai ilmu pengetahuan akan terkait bagaimana upaya dalam menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa dalam alam semesta ini dengan sistematis dan masuk akal. Sehingga hal-hal yang kemudian akan dipersoalkan meliputi beberapa macam pertanyaan diantaranya apa itu kebenaran? Apa metode ilmu pengetahuan? Mana sebenarnya metode yang dapat diandalkan dan apa kelemahannya yang dimiliki metode tersebut? Apa itu teori, hipotesis, dan apa itu hukum ilmiah.

Dalam pengetahuan filsafat adanya suatu landasan epistemologi telah dijadikan sebagai titik temu untuk mencari suatu kebenaran melalui paradigma-paradigma keilmuan yang ada seperti halnya positivisme sebagaimana yang banyak dijelaskan dalam beberapa kajian literatur. Dalam sejarah filsafat sebelumnya skeptisisme sebagai suatu sikap dari kaum skeptis yang memandang bahwa pengetahuan mustahil untuk dicapai kemudian dalam perkembangannya persoalan ini kemudian berhasil dipatahkan oleh dua aliran pemikiran yaitu rasionalisme dan empirisme.

Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya pengaruh filsafat positivisme adalah apa yang kita kenal sebagai empirisisme. Perlu dipahami empirisisme disini merupakan paham filosofis yang menjelaskan bahwa pengalaman merupakan sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia. Menurut kebanyakan kaum empiris hal yang paling pokok untuk dapat sampai pada puncak pengetahuan yang benar kata kunci yang dapat kita ketahui bahwasanya adalah data dan fakta yang dalam hal ini dapat ditangkap oleh pancaindra manusia. Dengan perkataan lain yang lebih sederhana, satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan pancaindra. Pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan dari pancaindra secara spontan dan langsung. Dengan kata lain pula suatu pengalaman ataupun pengamatan dan percobaan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data.

Inilah kemudian yang menjadi titik tolak dari pengetahuan manusia karena pada dasarnya kita mengetahui tentang sesuatu hanya berdasarkan dan hanya dengan titik tolak pengalaman indrawi kita sebagai manusia. Logikanya kemudian berujung pada hakekat sumber pengetahuan yang merupakan pengalaman dan pengamatan pancaindra tersebut yang memberi data dan fakta bagi pengetahuan setiap manusia. Sesungguhnya semua konsep dan ide yang kita anggap benar semuanya bersumber dari pengalaman kita dengan objek yang kita tangkap melalui pancaindra. 

Berangkat dari persoalan tersebut, atas dasar inilah persepsi kebanyakan dari kaum empiris lalu menjustifikasi bahwa semua pengetahuan manusia bersifat empiris yang artinya pengetahuan yang benar dan sejati adalah pengetahuan indrawi. Saya kira sebagai kaum yang juga meletakkan pada dasar pemikiran empirisisme, ilmu pengetahuan tidak akan bisa dikembangkan dalam kerangka pemikiran praduga, oleh karena itu fokus kajiannya akan selalu berbasis pada fakta yang ada melalui pancaindra.

 
Ada beberapa poin pemahaman yang sekiranya dapat kitar enungkan bahwasanya pancaindra  memiliki peranan yang sangat penting jika dibandingkan dengan akal budi. Pertama, semua proposisi yang kita ucapkan merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari suatu pengalaman. Kedua, kita tidak akan dapat mempunyai konsep maupun ide apa pun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang kita peroleh dari pengalaman. Ketiga, yang namanya akal budi hanya akan bisa berfungsi kalau punya acuan ke realitas atau pengalaman. Dari ketiga poin pemahaman tersebut, secara garis besar bagi kaum empiris akal budi hanya mengkombinasikan pengalaman indrawi untuk sampai pada pengetahuan, maka penegasan yang lebih tepat dinyatakan bahwa tanpa pengalaman indrawi tidak akan ada diperoleh pengetahuan apa-apa.

Untuk melihat beberapa pokok penting pemikiran kaum empirisisme, dalam hal ini akan diperkuat pula dari gagasan John Locke dan David Hume. Ada dua pertanyaan mendasar yang dibayangkan dalam pemikiran Locke. Pertama, sebenarnya dari mana kita memperoleh ide-ide tentang sesuatu dan Kedua apakah kita sebagai manusia dapat mengandalkan apa yang ditangkap oleh pancaindra kita untuk bisa sampai pada pengetahuan. Argumen yang kemudian dikembangkan Locke menyatakan bahwa semua konsep, pemikiran, dan ide yang ada pada manusia bersumber dari apa yang ditangkap melalui dan dengan pancaindra. 

Logika sederhananya sebelum manusia menangkap sesuatu dengan pancaindranya akal budi manusia dinyatakan dalam keadaan yang kosong tanpa terisi sesuatu apa pun. Akal budi yang dimiliki pada diri kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi yang diperoleh melalui pancaindra tadi. Ibaratnya sebelum ada informasi dari pancaindra, akal budi ketika itu diibaratkan seperti kerta sputih yang belum ditulisi apa-apa. Mungkin dapat diibaratkan pula seperti bayi yang baru terlahir di dunia ini yang masih suci dari dosa dan belum ada ide atau konsep apa pun yang melekat.

 
Setelah memahami gagasan pemikiran Locke sebagai pemikir aliran empirisisme, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep pemikiran yang ditegaskan pula oleh David Hume sebagai kaum empirisisme yang menolak paham rasionalisme bahwa hakekat pengetahuan manusia yang bersumber dari akal budi manusia. Ada satu hal persoalan yang ditemukan Hume di mana munculnya kembali persoalan klasik sejak dulu yakni bagaimana kita merasa yakin tentang fakta atau keadaan nyata tertentu? Bagaimana kita mengetahui bahwa hal tersebut bukanlah tipuan? Dalam pandangannya Hume menegaskan bahwa kita yakin akan adanya fakta tertentu berdasarkan kesaksian indra kita. Tetapi kemudian bagaimana kita bisa tahu lebih dari fakta yang ada bahwa ada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Lebih lanjut Hume mengungkapkan kita tahu lebih dari sekedar fakta yang ada berdasarkan prinsip sebab dan akibat. Berdasarkan prinsip lah kemudian kita mampu membuat ramalan atau dugaan tertentu yang melampaui fakta yang ada.

Yang menjadi perenungan dalam rahim pemikiran saya bagaimana manusia dapat sampai pada pengetahuan sebab dan akibat. Menurut kaum rasionalis dalam penjelasannya konsep pengetahuan mengenai sebab dan akibat merupakan pengetahuan bawaan sejak lahir atau apa yang dikenal dengan istilah pengetahuan apriori, sedangkan menurut Hume yang berpikiran empiris, pengetahuan disini sebab dan akibat tersebut bukan melalui penalaran apriori, melainkan berdasarkan pengalaman ketika kita menemukan bahwa objek khusus tertentu selalu berkaitan dengan objek lainnya. 

Satu hal yang perlu dijadikan penekanan disini bahwasanya pengalamanlah yang mengajarkan kita bagaimana satu peristiwa selalu diikuti oleh peristiwa lainnya. Kesimpulan yang dibangun Hume berorientasikan bahwa hukum sebab akibat, dimana hukum yang menyangkut operasi segala peristiwadi alam semesta ini hanya bisa diketahui berdasarkan pengalaman sebab satu peristiwa menyusul peristiwa yang lain belum dengan sendirinya berarti yang satu disebabkan oleh yang lainnya. Hume mengibaratkannya seperti angsa yang berwarna putih, tidak begitu saja langsung dapat dinilai dengan sendirinya yang berarti bahwa semua angsa akan berwarna putih.

Untuk mengakhiri tulisan ini setidaknya beberapa poin penting kesimpulan yang dikembangkan dari kaum empirisisme yang dapat kita pahami kembali yakni, Pertama, kaum empiris mengakui bahwa persepsi atau proses pengindraan sampai tingkat tertentu tidak dapat diragukan. Sampai tingkat tertentu persepsi bebas dari kemungkinan salah atau keliru karena kekeliruan tidak punya tempat pada apa yang “terberikan” (given). 


Sesuatu yang given sampai tingkat tertentu harus diterima sebagainyata, tidak keliru, tak teragukan. Oleh karena itu Hume dan kaum empirisis lainnya kemudian menyatakan suatu persepsi tidak bisa diragukan. Yang keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap oleh pancaindra itu. Lalu kaum empirisis kembali menyatakan bahwa tidak bisa diragukan ada kebenaran tertentu yang diberikan oleh pengalaman indrawi kitabahkan menurutnya satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan lewat pengalaman. Kedua, empirisisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahuan tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia. 

Ketiga, karena lebih menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia, kaum empiris kemudian lebih menekankan pada pengetahuan induktif dimana cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan, eksperimen untuk bisa sampai pada pengetahuan umum yang tidak dapat terbantahkan oleh karena itu pengetahuan kaum empiris penekanannya adalah apa yang disebut sebagai pengetahuan aposteriori. Dengan pemaknaan lain kaum empiris akan cenderung lebih giat dalam melakukan penilaian lapangan untuk membuktikan kebenaran berbagai proposisi dan akhirnya sampai pada pengetahuan yang sifatnya lebih universal. 

Keempat, kepastian mengenai pengetahuan empiris harus dicek berdasarkan pengamatan, data, pengalaman, dan bukan berdasarkan akal budi. Bagi kaum empiris selanjutnya muncul kembali persepsi bahwa pengalaman dapat memberikan pembuktian tertentu secara langsung dan pasti tentang proposisi tertentu, dan bahwasanya dari proposisi ini kemudian akan dapat ditarik proposisi lainnya.


~ SEKIAN

Tidak ada komentar: