Sempat dibuat galau tentang pencarian jati diri dari sebuah "kebenaran ilmiah", karena itu keluarlah catatan saya ini.
~ Selamat membaca dan mencerna filsafat pemikiran di bawah ini.
Satu
hal yang perlu kita pahami bahwa sebelum memahami suatu pengetahuan, secara lebih mendalam tentunya kita akan membutuhkan suatu
kerangka berpikir yang sangat sistematis dalam mencapai apa yang
disebut sebagai kebenaran ilmiah. Kemudian yang menjadi pertanyaan dalam
rahim pemikiran saya adalah apakah pengetahuan manusia untuk memperoleh
kebenaran berasal dari akal budi ataukah sesuatu yang berasal dari
pengalaman akan realitas objektif ?.
Pemahaman dasar yang perlu
kita ketahui bahwasanya cukup menarik, ketika saya pernah mendengar
bahwa sesungguhnya pengetahuan itu merupakan peristiwa yang terjadi dalam
diri manusia. Dimana objek pengetahuan dan manusia yang posisinya
sebagai subjek pengetahuan memegang peranan penting. Ketika manusia
memfokuskan diri atau dengan kata lain terarah terhadap objek, hal inilah
yang kemudian merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
munculnya pengetahuan dalam diri setiap manusia.
Hal yang perlu dicatat
disini bahwasanya terarahnya manusia terhadap objek tersebut
hanya mungkin menimbulkan pengetahuan jika dalam diri manusia sebagai
subjek sudah terdapat kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu
yang memungkinkan manusia dapat mengenal dan menangkap objek yang
diamatinya.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, pengetahuan itu hanya akan mungkin terwujud jika manusia sendiri adalah
bagian dari objek, dari realitas di alam semesta ini. Di poin inilah
kemudian proses pengetahuan mengalami penegasan dalam pemahaman
umum bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide,
konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dengan segala
isinya termasuk manusia dan kehidupannya, serta melewati proses kerja
adanya hipotesis, verifikasi, sampai pada akhir penyusunan proposisi.
Di
poin ini juga sesungguhnya dapat kita pahami bahwa pengetahuan kemudian
terakumulasi menjadi suatu ilmu. Pada dasarnya, konsep ilmu sebagai ilmu
pengetahuan akan terkait bagaimana upaya dalam menjelaskan hubungan
antara berbagai hal dan peristiwa dalam alam semesta ini dengan
sistematis dan masuk akal. Sehingga hal-hal yang kemudian akan
dipersoalkan meliputi beberapa macam pertanyaan diantaranya apa itu
kebenaran? Apa metode ilmu pengetahuan? Mana sebenarnya metode yang
dapat diandalkan dan apa kelemahannya yang dimiliki metode tersebut? Apa
itu teori, hipotesis, dan apa itu hukum ilmiah.
Dalam
pengetahuan filsafat adanya suatu landasan epistemologi telah dijadikan
sebagai titik temu untuk mencari suatu kebenaran
melalui paradigma-paradigma keilmuan yang ada seperti halnya positivisme
sebagaimana yang banyak dijelaskan dalam beberapa kajian literatur. Dalam
sejarah filsafat sebelumnya skeptisisme sebagai suatu sikap dari kaum
skeptis yang memandang bahwa pengetahuan mustahil untuk dicapai kemudian
dalam perkembangannya persoalan ini kemudian berhasil dipatahkan oleh dua
aliran pemikiran yaitu rasionalisme dan empirisme.
Seperti yang
telah kita ketahui bahwasanya pengaruh filsafat positivisme adalah apa
yang kita kenal sebagai empirisisme. Perlu dipahami empirisisme disini
merupakan paham filosofis yang menjelaskan bahwa pengalaman merupakan
sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia. Menurut kebanyakan
kaum empiris hal yang paling pokok untuk dapat sampai pada puncak
pengetahuan yang benar kata kunci yang dapat kita ketahui bahwasanya
adalah data dan fakta yang dalam hal ini dapat ditangkap oleh pancaindra
manusia. Dengan perkataan lain yang lebih sederhana, satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh melalui pengalaman dan
pengamatan pancaindra. Pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman
yang terjadi melalui dan berkat bantuan dari pancaindra secara spontan
dan langsung. Dengan kata lain pula suatu pengalaman ataupun pengamatan dan
percobaan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan
data.
Inilah kemudian yang menjadi titik tolak dari
pengetahuan manusia karena pada dasarnya kita mengetahui tentang sesuatu
hanya berdasarkan dan hanya dengan titik tolak pengalaman indrawi kita
sebagai manusia. Logikanya kemudian berujung pada hakekat sumber
pengetahuan yang merupakan pengalaman dan pengamatan pancaindra tersebut
yang memberi data dan fakta bagi pengetahuan setiap manusia. Sesungguhnya
semua konsep dan ide yang kita anggap benar semuanya bersumber dari
pengalaman kita dengan objek yang kita tangkap melalui pancaindra.
Berangkat
dari persoalan tersebut, atas dasar inilah persepsi kebanyakan dari kaum
empiris lalu menjustifikasi bahwa semua pengetahuan manusia bersifat
empiris yang artinya pengetahuan yang benar dan sejati adalah pengetahuan
indrawi. Saya kira sebagai kaum yang juga meletakkan pada
dasar pemikiran empirisisme, ilmu pengetahuan tidak akan bisa
dikembangkan dalam kerangka pemikiran praduga, oleh karena itu fokus
kajiannya akan selalu berbasis pada fakta yang ada melalui pancaindra.
Untuk
melihat beberapa pokok penting pemikiran kaum empirisisme, dalam hal ini
akan diperkuat pula dari gagasan John Locke dan David Hume. Ada dua
pertanyaan mendasar yang dibayangkan dalam pemikiran Locke. Pertama,
sebenarnya dari mana kita memperoleh ide-ide tentang sesuatu dan
Kedua apakah kita sebagai manusia dapat mengandalkan apa yang ditangkap
oleh pancaindra kita untuk bisa sampai pada pengetahuan. Argumen yang
kemudian dikembangkan Locke menyatakan bahwa semua konsep, pemikiran, dan
ide yang ada pada manusia bersumber dari apa yang ditangkap melalui dan
dengan pancaindra.
Logika sederhananya sebelum manusia menangkap sesuatu
dengan pancaindranya akal budi manusia dinyatakan dalam keadaan yang
kosong tanpa terisi sesuatu apa pun. Akal budi yang dimiliki pada diri
kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi yang
diperoleh melalui pancaindra tadi. Ibaratnya sebelum ada informasi dari
pancaindra, akal budi ketika itu diibaratkan seperti kerta sputih yang
belum ditulisi apa-apa. Mungkin dapat diibaratkan pula seperti bayi yang
baru terlahir di dunia ini yang masih suci dari dosa dan belum ada
ide atau konsep apa pun yang melekat.
Yang menjadi perenungan dalam rahim pemikiran
saya bagaimana manusia dapat sampai pada pengetahuan sebab dan akibat.
Menurut kaum rasionalis dalam penjelasannya konsep pengetahuan mengenai
sebab dan akibat merupakan pengetahuan bawaan sejak lahir atau apa yang
dikenal dengan istilah pengetahuan apriori, sedangkan menurut Hume yang
berpikiran empiris, pengetahuan disini sebab dan akibat tersebut bukan
melalui penalaran apriori, melainkan berdasarkan pengalaman ketika kita
menemukan bahwa objek khusus tertentu selalu berkaitan dengan objek
lainnya.
Satu hal yang perlu dijadikan penekanan disini bahwasanya
pengalamanlah yang mengajarkan kita bagaimana satu peristiwa
selalu diikuti oleh peristiwa lainnya. Kesimpulan yang dibangun Hume
berorientasikan bahwa hukum sebab akibat, dimana hukum yang menyangkut
operasi segala peristiwadi alam semesta ini hanya bisa diketahui
berdasarkan pengalaman sebab satu peristiwa menyusul peristiwa yang lain
belum dengan sendirinya berarti yang satu disebabkan oleh yang lainnya.
Hume mengibaratkannya seperti angsa yang berwarna putih, tidak begitu saja
langsung dapat dinilai dengan sendirinya yang berarti bahwa semua angsa
akan berwarna putih.
Untuk mengakhiri tulisan ini
setidaknya beberapa poin penting kesimpulan yang dikembangkan dari kaum
empirisisme yang dapat kita pahami kembali yakni, Pertama, kaum
empiris mengakui bahwa persepsi atau proses pengindraan sampai tingkat
tertentu tidak dapat diragukan. Sampai tingkat tertentu persepsi bebas
dari kemungkinan salah atau keliru karena kekeliruan tidak punya tempat
pada apa yang “terberikan” (given).
Ketiga,
karena lebih menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan
manusia, kaum empiris kemudian lebih menekankan pada pengetahuan induktif
dimana cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri
pada pengamatan, eksperimen untuk bisa sampai pada pengetahuan umum yang
tidak dapat terbantahkan oleh karena itu pengetahuan kaum empiris
penekanannya adalah apa yang disebut sebagai pengetahuan aposteriori.
Dengan pemaknaan lain kaum empiris akan cenderung lebih giat dalam
melakukan penilaian lapangan untuk membuktikan kebenaran berbagai
proposisi dan akhirnya sampai pada pengetahuan yang sifatnya lebih
universal.
Keempat, kepastian mengenai pengetahuan empiris harus
dicek berdasarkan pengamatan, data, pengalaman, dan bukan berdasarkan
akal budi. Bagi kaum empiris selanjutnya muncul kembali persepsi bahwa
pengalaman dapat memberikan pembuktian tertentu secara langsung dan pasti
tentang proposisi tertentu, dan bahwasanya dari proposisi ini kemudian
akan dapat ditarik proposisi lainnya.
~ SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar