Pada saat semester 3 kuliah, Dosen di Jurusanku Politik dan Pemerintahan, sekaligus Dekan Fakultasku, dan sejak 2012 hingga saat ini 2013 telah menjabat sebagai Rektor UGM, pernah melakukan "Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar". Nama beliau adalah Prof. Dr.Pratikno, M.Soc.Sc. Hal yang paling aku ingat dari beliau adalah ketika memberikan mata kuliah masyarakat ekonomi, kebetulan aku lagi duduk di depan. Saat menjelaskan mata kuliah tersebut, beliau kemudian melemparkan pertanyaan kepada saya. Tapi, sebelum menjawab pertanyaannya, terlontar sebuah kalimat dari beliau "wajah kamu mengingatkan saya pada seseorang di masa muda saya karena mirip" (*dalam hati berkata*haha...bisa aja ne bapak). Kemudian, hal lain yang aku ingat banget dari beliau adalah saat beliau memberikanku reward sebuah rangkaian bunga yang indah dan cinderamata karena kebetulan aku menjadi mahasiswa lulusan tercepat UGM pada saat periode tersebut dan cumlaude.
Oh yah aku bisa menghadiri acara tersebut karena saat itu, kebetulan lagi ga ada jadwal kuliah, maka aku pun lalu menyempatkan diri menghadiri acara beliau yang digelar di Gedung Sabha Pramana (GSP) UGM. Sampai disana, sepertinya teman seangkatanku 2008 belum ada yang aku lihat, tapi adanya didominasi oleh seniorku 2007. Jadilah, aku gaul bareng para seniorku itu sambil menikmati hidangan gratis yang disajikan di tempat acara. Sambil menikmati hidangan yang nikmat itu (*maklum gratis makanya nikmat, anak kos gitu...hehe,,,) aku juga sambil mencoba mencerna isi pidato yang disampaikan, dengan maksud agar di hari sakralnya beliau tersebut, aku bisa mengabadikan isinya dalam bentuk review.
Berikut hasil review tulisanku...cekidot gan...
Rekonsolidasi Reformasi Indonesia:
Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan Dalam Menopang Demokrasi dan
Pemerintahan Efektif
Secara garis besar, pidato ini memberikan gambaran yang sangat
gamblang bagaimana kontribusi beliau sebagai pendidik dan peneliti dalam
melakukan perumusan kebijakan politik dan pemerintahan. Yakni dengan memberikan topik bahasan yang cukup menarik terkait kontribusi
dalam menopang demokrasi dan pemerintahan efektif.
Pada awal pembahasannya, beliau memberikan gambaran singkat tentang
struktur politik dan pemerintahan pada masa rezim orde baru yang mana berhasil
mencapai puncak kekuasaannya di dekade 1980an, dan mengalami kemunduran di dekade 1990an.
Menurutnya, struktur
pemerintahan yang terjadi pada masa orde baru 1966-1998 hanya menghasilkan
proses politik yang tidak demokratis. Belum lagi struktur yang
sangat sentralistis yang dibangun dengan hirarki yang ketat layaknya menyerupai
piramida runcing dengan puncak kendali penuh berada di tangan Presiden semakin
menambah ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Dalam hal ini pemerintah
mengontrol ketat aktivisme politik di masyarakat, menghadang pembentukan kekuatan
civil society, dan memaksa bisnis
untuk berpatron kepada pemerintah. Sedangkan di tingkat kelembagaan negara,
segala kendali akan proses politik seperti yang ada di DPR dan MPR dengan
mudahnya dapat dikendalikan pula oleh “orang nomor satu di Indonesia” saat itu.
Sejak mundurnya Presiden Soeharto pada tahun 1998,
maka proses politik kemudian tidak lagi senyap dan terselubung. Dapat dikatakan,
ini menjadi prestasi tersendiri bagi
bangsa Indonesia saat memasuki era kereformasiannya dimana proses politik yang
ada berjalan riuh, kompetitif, dan terbuka. Seperti di dalamnya jaminan hukum
untuk berpendapat dan berorganisasi telah melahirkan media massa, dan organisasi masyarakat sipil yang
mandiri dan kritis terhadap pemerintah. Belum lagi ditambah maraknya kemunculan
partai politik untuk berkompetisi, calon perseorangan-pun dibuka untuk pemilihan Kepala
Daerah dan Presiden. Hal iniliah mengapa kemudian dikatakan proses politik menjadi
sangat riuh dan kompetitif. Sebab proses tersebut telah memberikan warnanya di seluruh level
pemerintahan, mulai dari Desa, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga tingkat
Nasional.
Berangkat dari semua penjelasan di atas tadi,
maka dapat dipahami disini
bahwasanya sudah sangat jelas digambarkan betapa struktur pemerintahan
Indonesia telah mengalami suatu perubahan yang cukup signifikan dari yang awalnya
bersifat sangat hirarkis, kemudian dapat bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor yang bermain di
dalamnya semakin banyak. Bisa dilihat bagaimana kemudian Majelis Permusyawaran
Rakyat (MPR) tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi telah berubah menjadi lembaga
negara yang sama tinggi dengan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Selain itu
MPR tidak lagi merumuskan GBHN yang wajib dijalankan oleh Presiden, sebab
bekerjanya Presiden dalam pemerintahan mendapatkan perimbangan dari peran DPR.
Akan tetapi, dalam hal ini
bukan berarti posisi Presiden lebih tinggi daripada lembaga yang lainnya termasuk
juga lembaga yudikatif. Sebab yang membedakan posisi tersebut,
bukanlah hirarkinya melainkan hanya
penempatan perbedaan fungsi yang harus dijalankan masing-masing lembaga.
Lanjutnya, Indonesia telah memasuki struktur
pemerintahan yang dianggap lebih demokratis, namun dalam perjalanannya
dikatakan masih banyak keterbatasan dan dilema serta tidak tuntasnya reformasi
politik dan pemerintahan di Indonesia. Sebab, walaupun dalam pelaksanaannya proses demokrasi
memang telah membuka pintu bagi seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi,
namun dengan diberikannya ruang
ekspresi yang begitu besar dalam proses demokratisasi tersebut, justru
kemunculan konflik semakin banyak merebah khususnya pada aras lokal di
Indonesia. Oleh karena itu, pertanyaannya
kemudian kontribusi apa yang seharusnya menginspirasi perjalanan bangsa ini?
Sehingga dari sini dijelaskan secara cermat bahwa dua isu demokrasi dan
efektivitas lah yang menjadi kunci dalam analisis beliau.
Demokrasi dan efektivitas pemerintahan telah
menjadi suatu mata rantai yang selalu berjalan secara bersamaan. Sebab, keduanya harus dipertanyakan pada saat
yang bersamaan bukan secara bergantian. Demokrasi yang telah kita sepakati
sebagai mekanisme pengelolaan politik yang katakanlah mampu untuk meningkatkan
harkat manusia dalam struktur kekuasaan politik yang bisa koruptif, namun
demokrasi yang masih berhenti di pluralisasi kekuasaan dan representasi
prosedural bisa mengorbankan efektivitas pemerintahan. Karena itu, efektivitas pemerintahan ini sangat
relevan bagi Indonesia di tengah struktur ekonomi global yang dikatakan
sangatlah kompetitif dan kejam.
Sebagaimana ulasan menarik yang telah disampaikan
di atas tadi, telah membawa
beliau pada kesimpulan bahwa studi politik dan pemerintahan tidak lagi bertanya
tentang seberapa plural struktur politik Indonesia. Akan tetapi, lebih dari
itu seberapa demokratis dan sekaligus seberapa efektif penyelenggaraan
pemerintah untuk menghasilkan political
goods. Political goods yang
dimaksud disini tidak hanya mengutamakan jaminan akan hak-hak politik semata,
tetapi juga secara bersamaan diikuti pula dengan hak-hak sosial ekonomi,
keamanan, pelestarian lingkungan, dan harga diri sebagai sebuah bangsa.
Prof. Pratikno and me :) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar