Kamis, 25 Juli 2013

Panggung Sandiwara : Peran Anak Kecil Vs Orang Gede


Aku membayangkan kehidupan manusia di dunia ini bak panggung sandiwara. Dunia ini tak lain adalah panggung teater dan manusia yang berjenis kelamin pria adalah aktornya dan para wanita adalah aktrisnya. Hal ini dapat aku katakan, bukan berarti karena dulu dan sampai sekarang aku memiliki ketertarikan terhadap teater. Lalu apa dong? Sebab, manusia sejak terlahir di dunia telah berakting sesuai dengan usia mereka, hingga pada usia tua mereka ketika episode yang terakhir dimainkan. 
 
Misalnya, bayi yang baru lahir melakukan aktingnya dengan menangis (*oweee…oweeee). Para orang tua memainkan perannnya dengan bertindak sebagai sosok yang bijak, mengarahkan anak-anaknya agar menjadi cerdas, sholeh dan sholehah, serta berbagai kebaikan lainnya. Namun, tak jarang ditemui pula orang tua yang dapat berperan sebagai antagonis (jahat) seperti, membuang bayinya, memukul anak-anaknya tanpa alasan yang rasional, serta berbagai kejahatan lainnya. Ada lagi para remaja yang asik berperan dengan masa-masa pubertasnya, dan orang-orang dewasa yang asik berperan dengan suasana hati yang trennya disebut dengan Galau meeeen…. Akibat masa-masa itu, mereka bisa menjadi sangat labil, sedih, marah, bahagia hingga hatinya berbunga-bunga (ceilaaa…), serta berbagai suasana hati lainnya.
Diantara semua para pemain tersebut, tampaknya orang gede (re: dewasa) memiliki peran yang cukup ribet. Kalau kata anak kecil di iklan TV sih “Jadi orang gede itu menyenangkan, tapi susah dijalanin”. Nah, pernyataan dalam iklan itu aku setuju banget. Coba deh kita lihat kehidupan anak kecil sekira umur antara 1 – 9 tahun, atau kita ingat kembali lagi deh bagaimana dulu ketika kita masih berperan sebagai anak kecil. Segala hal yang dilakukan dalam tawa canda, bermain, bagaimana harus makan dan minum, dan sebagainya terjadi tanpa ada beban sekalipun. 
 
Bagaimana tidak, wong segala kebutuhannya kan sudah diurusin sama orang gede (orang tua, saudara, atau pembantu mereka). Tetapi, kalau kita temukan ada anak kecil yang dapat mengurusi sendiri kebutuhannya, bahkan justru dapat mengurusi orang tuanya itu mah beda lagi konteksnya dan sangat jarang ditemui. Artinya, walaupun ada paling dapat dihitung dengan jari. Kondisi yang dihadapi anak semacam ini, pernah aku lihat saat ditayangin dalam berita di channel TV swasta. Faktor ekonomi dan cacatnya orang tua dari anak itulah, yang membuat ia dapat menjadi mandiri seperti itu. 
 Nah, kembali ketika kita berbicara persoalan orang gede, pasti ribet banget karena sangking banyaknya persoalan. Orang gede itu harus berpikir dan berupaya extra bagaimana harus mencari sesuap nasi dan seteguk air pelepas dahaga, menyelesaikan studi untuk mencapai kelulusan dan syukur-syukur bisa sampai sarjana hingga profesor, mencari dan memilih pasangan hidup, bekerja untuk menghidupi keluarga, menyelesaikan masalah dalam setiap pekerjaan, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya. Setelah melalui proses itu, orang gede itu bisa kembali loh menjadi kanak-kanak kedua. Misal, mungkin tak jarang kita lihat ada orang gede yang tingkahnya kembali sama seperti anak kecil. 
Sekiranya pemikiranku ini dipertegas pula oleh karakter Jaques dalam karya William Shakespeare berjudul As You Like It. Shakespeare menerangkan tentang tujuh tingkatan usia manusia, yang kadang-kadang disebut sebagai tujuh usia manusia: bayi, anak sekolah, pecinta, prajurit, keadilan, pantaloon, dan masa kanak-kanak kedua, "tanpa gigi, tanpa mata, tanpa rasa, tanpa semuanya". Kutipannya sebagai berikut:

"All the world's a stage,
And all the men and women merely players;
They have their exits and their entrances
And one man in his time plays many parts,
His acts being seven ages. At first the infant,
Mewling and puking in the nurse's arms;
Then the whining school-boy, with his satchel
And shining morning face, creeping like snail
Unwillingly to school. And then the lover,
Sighing like furnace, with a woeful ballad
Made to his mistress' eyebrow. Then a soldier,
Full of strange oaths, and bearded like the pard,….dst (Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything." — Jaques (Act II, Scene VII, lines 139-166)

Pada akhirnya, ending dari sandiwara kehidupan manusia adalah ketika Sang Sutradara (re: Tuhan) sebagai pengatur adegan dalam berbagai skenarionya, memanggil para pemainnya untuk kembali kepadaNya (re: meninggal). Oleh karena itu, melalui tulisan ini sebagai hamba yang ber-Tuhan, yuk mari kita sama-sama memerankan diri sebagai aktor dan aktris yang protagonis (peran baik) saja, agar masuk surga tempat indah yang aku percaya telah dijanjikan Tuhan bagi siapa saja yang baik. Tetapi, kalau nggak mau masuk surga, yaah tentu saja perannya adalah antagonis (jahat). Sekarang tinggal kita sajalah yang memilih ingin surga atau neraka. Yaaak dipilih-dipilih, mumpung kita ini orang Indonesia masih menganut sistem demokrasi loohh. 
~ Sekian… Peace, Love, and Gaul *tsaaaaaahhhhh…..





                                                                                         

Tidak ada komentar: