Kamis, 18 Juli 2013

My Review Novel "Menunggu Matahari Melbourne" Buah tangan : Remy Sylado


 
Dalam tulisannya, Remy Sylado mengawali kisahnya dengan pertemuan dua insan yang berbeda negara. Kisah cinta picisan yang diolah di tangan Remy Sylado ini, digambarkan bagaimana kisah cinta kedua insan yaitu, Joko Trianto dan Mary Jane Storm menjadi novel yang disisipi sarat kritik sosial tentang kemunafikan, korupsi, dan kekerasan atas nama suku dan agama. Adalah Joko Trianto seorang mahasiswa Indonesia di Australia sedikit gondrong, bertindik di bibir dan pusarnya serta Mary Jane Storm adalah mahasiswi Australia berambut panjang tergerai bertindik di lidah dan pusarnya. Suratan kaki jualah yang menyebabkan kedua insan ini  bertemu pertama kalinya di bandara I Gusti ngurah Rai,Bali.Mary Jane Storm ke Bali dalam rangka ikut menaburkan bunga bagi dua orang saudaranya yang tewas di Kuta akibat Bom pada bulan Oktober lampau.Sedangkan Joko Trianto ke Victoria dalam rangka kembali ke kuliah di Melbourne setelah berlibur selama sebulan di kampung halamannya di Malang.
Percakapan kedua insan tersebut diwarnai penuh keakraban, karena kebetulan mereka berdua sama-sama dapat dikatakan ‘anak zaman’ yaitu orang muda di bawah 30 tahun yang atas suka sendiri menjadikan diri mereka masing-masing sebagai korban mode. Mungkin ini hal yang tak lazim lagi di dengar di Indonesia ataupun di negara lain yang sarat dengan kebebasan berekspresi.Mereka bakal siap akan mengatakan: hak asasi mereka dijamin oleh perserikatan Bangsa-Bangsa.Di sela-sela duduk bersanding di kursi ruang tunggu bandara percakapan dua insan yang berbeda negara itu diwarnai keakraban tapi sekaligus pula berselisih.
Dalam kreativitas tulisannya, cukup menjadi sebuah perenungan dalam rahim pemikiran saya betapa pertanyaan-pertanyaan kecil yang dilontarkan oleh Mary Jane Storm sebagai warga Negara Australia yang langsung mengklaim pesawat Garuda sering mengalami keterlambatan sebetulnya secara tidak langsung memberi kesan remeh terhadap Indonesia yang sering tidak menghargai waktu bahkan selalu mengulur-ulurkan waktu. Betapa sulitnya menghapus kesan buruk sebagian orang Australia sejak zaman orde baru hingga kini. Dalam Kisah ini menceritakan pula bahwa Mary Jane Storm adalah seorang yang ateis.Yang agak sedikit menarik disini sekaligus membuat saya terkagokkan adanya argument Mary Jane Storm bahwa “Indonesiamu memang aneh sekali.Ateisme dianggap bahaya,sementara primordalisme agama yang tumbuh bersama dengan sentimen-sentimen kesukuan, dan berkembang menjadi terorisme dengan bom,dianggap bukan bahaya.”
Wacana perdebatan kedua anak zaman ini cukup membuka kerangka berpikir tentang pemahaman sebenarnya mana yang lebih kejam,komunis yang ateis ataukah terorisme yang mengatasnamakan agama? Yang menjadi pemikiran tampaknya ketika Bom Bali yang terjadi di Indonesia kepercayaan dunia terhadap Indonesia makin buruk.Yang artinya Indonesia bisa saja akan terlunta-lunta,tidak punya apa-apa selain industri pariwisata.Pariwisata pun sebenarnya bukan sepenuhnya milik Indonesia.Indonesia hanya memiliki alamnya.Tapi yang mengelola tetap modal asing.Hal ini sangat erat kaitannya dengan pemahaman tentang bagaimana sejarah kedatangan orang Eropa ke Nusantara dan awal kolonialisasi yang motif awal kedatangan berdagang menjadi penjajahan.
Adanya infrastruktur telah membawa efek perubahan sosial diantaranya pembangunan jalan raya menyambungkan satu daerah dengan daerah lain dan menyambungkan hubungan antar manusia,serta meningkatkan volume perdagangan.Sebagaimana dijelaskan di dalam Simbolon,1999 ini menjadi awal terbentuknya formasi awal keindonesiaan yang meliputi kesatuan ekonomi,kesatuan politik dan kesatuan identitas.Secara tidak langsung hadirnya penjajah di Nusantara telah memberikan implikasi yang besar bagi bangsa Indonesia diantaranya perang melawan kolonialisme telah mendorong atau memfasilitasi penyatuan Nusantara,Culturrestelsel telah melahirkan sistem perkebunan dan pertanian modern,kelahiran elit baru di mana ada priyayi,tentara,dan orang-orang cerdas yang menjadi transeter suatu perubahan.
Dalam hal ini muncul naluri saya untuk bersikap skeptis.Bangsa yang besar ini yang setiap tanggal 17 Agustus dengan bangga memproklamasikan isi kalimat teks proklamasi yaitu “kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan……” apakah sudah layak disebut merdeka? Merdeka dari sudut mana jika paradoksnya ekonomi saja belum merdeka,kemiskinan merajalela,korupsi tidak pernah surut dari kegila-gilaan pejabat-pejabat Indonesia,dan perusahaan masih banyak dikelola oleh orang asing.Apakah ini yang dinamakan merdeka ketika pembodohan terus saja dirasuki dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Dalam novel ini pun tampaknya Remy Sylado mencoba menarik pembaca untuk mencoba melakukan perenungan kecil sebagai contoh kalimat kutipan yang menarik disajikan dari peristiwa perdebatan oleh Mary Jane Strom mengatakan bahwa “kesalahan yang rentan di Indonesia karena ketika masih kecil tidak segera dilawan.Kesalahan yang tidak segera dilawan lambat laun berubah menjadi kebiasaan buruk.Dan kebiasaan buruk yang tidak segera dilawan lambat laun berubah menjadi gaya hidup.Itulah ciri Indonesia.Dalam cerita ini dihadirkan pula oleh peran dua malaikat yang masing-masing mendampingi atau mengisi relung-relung pemikiran dua insan tersebut.Dalam hal ini Remy Sylado mencoba menawarkan kita untuk percaya bahwa malaikat yang menjaga manusia bisa juga ikut mencampuri persoalan-persoalan insani manusia menyangkut kemauannya,keengganannya,kesukacitaannya,kedukacitaannya,semangatnya,jiwanya,dan seterusnya.Mungkin manusia tidak menyadari itu.Kedua malaikat ini berperan menghadirkan bisikan-bisikan untuk menentukan jalan kedua insan ini.Katakanlah agar mereka saling jatuh cinta.
Kisah yang dituliskan oleh Remy Sylado dalam novelnya ini dirancang begitu unik betapa tidak kehadiran dua malaikat penjaga disamping Joko Trianto dan Mary Jane Storm turut berbicara dan menghidupkan suasana isi novel ini.Dalam penulisannya,Remy Sylado menuangkan ide kritik terhadap manusia Indonesia diperankan oleh perbincangan dua malaikat.Sebagai contoh kutipan kalimat menarik yang dituliskan bahwa manusia itu sering sekali dalam rangka menunjukkan dan memamerkan kesalehannya lantas bertindak lebih Tuhan daripada Tuhan.Terutama sekali manusia bangsanya Joko Trianto,ya sebut saja Indonesia. Fanatisme terjadi, dan berakibat benturan antar agama,lantaran manusia mau menunjukkan dan memamerkan kesalehannya hanya pada jangkauan kuantitas bukan kualitas.
Fanatisme yang berkembang dan menular ternyata tidak hanya dengan simbol-simbol lahiriah,misalnya pada penampilan fisik,khususnya pada apa yang dipakai,tapi juga akhirnya dengan Bom.Sementara yang jarang sekali dilihat dengan jernih,yaitu dengan kepala dingin dan hati terbuka,bahwa terorisme  di Indonesia ini berkaitan erat dengan masalah ekonomi.Terlalu banyak orang miskin di sini.Orang miskin yang sudah terlau letih dengan kemiskinan gampang terasut,dan akan menganggap pelanggaran-pelanggaran pidana justru sebagai keniscayaan untuk menghajar orang-orang yang sombong-sombong.
Jadi menurut saya kekacauan yang selama ini beraneka ragam jenisnya yang telah pernah terjadi di Indonesia,sebenarnya berpangkal pada urusan ekonomi masyarakat yang mengalami perbedaan pendapatan penghasilan.Cukup menggelitik rahim pemikiran saya untaian-untaian kalimat indah hasil kreativitas berpikir yang dihadirkan oleh Remy Sylado ini yang menyatakan bahwa sepertinya nama Indonesia ini harus diganti saja.Supaya tidak sakit-sakitan,ya Indonesia diganti saja dengan nama lama,Nusantara.Ah,Nusantara itu berbau Jawa.Wawasan Nusantara dalam pikiran Gajah Mada adalah kolonialisasi dalam imperialisme Majapahit.Pasti orang Sunda yang langsung gatal mendengar Gajah Mada dan Majapahit.Orang Sunda yang tinggal satu pulau dengan orang Jawa saja sudah gatal,apalagi orang Aceh di ujung Sumatra.Selama ini nama Indonesia dijadikan sebagai tameng,perisai,zirah,untuk menutup-nutupi penyakit ketidakmampuan dan ketidak becusan mengurus negara dan bangsa.Inspirasi ini dilukiskan sebagaimana di Indonesia ini memang ada tradisi mengganti nama terhadap seorang anak jika dengan nama tertentu anak itu sakit-sakitan.Mungkin ini juga yang terpikirkan oleh penulis novel apakah tidak lebih baik mengganti saja nama Indonesia supaya Indonesia tidak tidak sakit-sakitan.Soalnya dalam semua rezim,mulai dari orde lama,orde baru,sampai orde Reformasi,Indonesia tetap sakit.
Dari pernyataan tersebut tentunya timbul suatu kerangka berpikir.Seandainya kata Indonesia diganti sebaiknya apa? Siapakah yang berwenang penuh untuk mengganti nama Indonesia? Tentunya bukan sosok manusia yang bernama orang tua yang dengan serta merta mengganti nama anaknya sendiri begitu penuh pemikiran yang matang.Kata ‘Indonesia’ kan sudah mempunyai nilai perjuangan bagi generasi pendahulu dari angkatan 1928 sampai angkatan 1945.Jika membuka kembali memori rekaman isi sumpah pemuda tentunya rasa nasionalisme kita akan kembali terketuk bahwa kita adalah bangsa yang satu bangsa Indonesia.Jadi adakah kata yang sepantasnya untuk menggantikan kata Indonesia agar tidak sakit-sakitan lagi? Hanya waktu yang terus berproses akan menjawabnya.
Figur Joko Trianto warga negara Indonesia dan Mary Jane Storm warga negara Australia dijadikan pula sorotan pengkritikan dalam novel ini.Dimana orang Indonesia dan Australia itu sama-sama berkepribadian mengambang.Orang Indonesia sudah dikenal luas di dunia sebagai bangsa paling aneh,konon berTuhan melalui hafalan sampai bibir lecet tentang pancasila-nya,tapi juga paling hipokrit,paling korup,dan ini semua terjadi di saat seseorang menjadi pejabat negara,menjadi birokrat,menjadi jaksa,menjadi hakim,menjadi walikota,menjadi gubernur,menjadi menteri,dan seterusnya.Pejabat negara yang sudah haji berkali-kali tapi kelakuannya tidak berubah.Sewaktu ditanya,dia bilang berhaji itu tugas agama,korupsi itu tugas negara.Kata-kata bagus ini dikutip oleh Remy Sylado dari Ahmad Sjafi’i Ma’arif,wawancara Tempo,7 Desember 2003.
Selanjutnya dijelaskan bahwa keakuan orang Indonesia itu sangat buruk di antara bangsa-bangsa lain di dunia.Ini terlihat dari lagu kebangsaan Indonesia Raya merupakan lagu satu-satunya di dunia yang sangat individualistis.Lagu-lagu kebangsaan di seluruh dunia menggunakan kata yang mengandung arti kolektif ‘kami’ atau ‘kita’,dan hanya Indonesia Raya yang menggunakan kata individualistis ‘aku’ : Indonesia tanah air-ku,tanah tumpah darah-ku,di sanalah aku berdiri-dan di tempat aku berdiri tak boleh ada orang lain yang berdiri bersamaku….”Simak saja lagu kebangsaan Australia,misalnya jelas sekali  menggunakan kata ‘kita’ atau ‘kami’ ,we,our,us:Australians all let us rejoice;for we are young and free ;our home is girt by sea…..”.Berbicara tentang Australia lebih lanjut Remy Sylado menceritakan bahwasanya mulanya Australia sangat elok di mata Indonesia.
Dulu ketika Indonesia baru diproklamasikan mereka,dan Belanda tak mengindahkan bahkan melakukan aksi militer dengan alasan sebagai aksi polisional,Australia melalui Chifley selaku perdana menteri dan Evatt selaku menteri luarnegeri,mendukung penuh Republik Indonesia.Australia pun pada tanggal 30 Juli 1939 supaya menghentikan serangan Belanda terhadap Indonesia.Setelah itu penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag adalah juga karena peran Australia yaitu melalui Critchley,yang pernah pula menjadi Dutabesar Australia di Jakarta antara 1978-1981.
Tapi memang yang buruk-buruk lebih membekas dalam ingatan ketimbang yang baik-baik.Demikian pula luka Indonesia terhadap Australia dimulai sejak Menzies dari partai Liberal menjadi Perdana Menteri Australia,ketika Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia,dan Australia mendukung penuh terhadap koppig-nya Belanda.Masih sampai 1970-an sikap Australia terhadap Indonesia tergolong manis.Sebab,waktu itu perdana menterinya William setuju Indonesia melancarkan operasi militer di Timor-Timur.Setelah Soeharto dimakzulkan di akhir dasawarsa 1990-an, maka perubahan pandangan Australia terhadap Indonesia terjadi bersamaan dengan berubahnya kekuasaan yang dikendalikan oleh partai Liberal.Biang keroknya adalah Habibie yang digolkan Golkar untuk menjadi presiden RI ke-3 melakukan sesuatu yang kira-kira untuk dipuji dunia Internasional,yaitu menyelenggarakan referendum bagi Timor Timur,disusul lepasnya Timor Timur dari NKRI.Dari situ pula hubungan yang pernah bagus antara Indonesia dan Australia ketika yang menjabat perdana menteri dari partai Sosialis,Whitlam dan Keating menganggap Timor Timur sebagai wilayah NKRI lantas buyar berganti dengan permusuhan dengan kesombongan pihak Australia sebagai bangsa yang repot ingin tampil sebagai ras kulit putih yang konon lebih superior atas kulit berwarna di kawasan Asia.    
Di balik sarat kritikan sosial,kemunafikan,korupsi,serta kekerasan atas nama suku dan agama.Novel ini pun menghadirkan bagaimana sebuah kisah romantisme kedua remaja yang berbeda warga negara tersebut.Selagi kedua anak zaman ini menunggu matahari Melbourne perjalanan mereka diwarnai berbagai perasaan apakah itu cinta atau sekedar nafsu belaka yang mereka sendiri tak mengerti maksudnya.Kisah ini mencapai puncaknya ketika masing-masing diantara mereka saling memohon maaf bahwasanya rasa cinta insan yang berbeda status warga negara ini,diantara mereka tidak bisa terjalin sebab Joko Trianto telah mengakui bahwa dirinya adalah seorang Homoseks. Sungguh tidak terduga Mary Jane Storm pun mengakui bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang Lesbian.Mereka adalah anak zaman yang tetap lebih suka menjadi m anusia-manusia sakit.
Dalam hal ini Remy Sylado pun membandingkan dua orang ‘anak zaman’ ini yang merupakan tokoh utama dalam cerita ini,yaitu tentang kritikan terhadap kemunafikan.Sebenatnya siapa yang paling munafik diantara keduanya? Apakah Joko Trianto yang berkebangsaan Indonesia atau Mary Jane Storm yang berkebangsaan Australia yang mengakui dirinya sebagai ateis? Mari Jane Storm yakin Tuhan lebih menghargai orang ateis yang dengan berani menyangkal Tuhan,ketimbang orang munafik.Yang paling menonjol dari orang Indonesia adalah kemunafikannya dan korupsinya yang begitu besar.
Hal ini dapat dilihat dalam kisah yang dihadirkan adanya seorang bapak yang tidak dijelaskan namanya,sempat mengajak Joko Trianto berkenalan di dalam pesawat.Sungguh tidak disangka ternyata bapak tersebut semata-mata datang ke Melbourne bukan untuk berobat sebagaimana kesan yang dihadirkannya,tapi semata-mata untuk berjudi di Crown.Dia anggota legislatif.Suratkabar-suratkabar di Jakarta sering mengutip omongannya sebagai moralis yang keras sekali menuntut supaya tempat-tempat hiburan,yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat,ditutup.Ketika melakukan perjudian tersebut malaikat pun mencabut nyawanya. Kasus berita tersebut kemudian diekspos di pertelevisian Melbourne diuraikan dengan cara amat yang telanjang: “Selain berlangganan judi di Melbourne,orang Indonesia ini berjudi juga di Macao sampai Las Vegas.
Sepanjang petualangannya ia tidak pernah beruntung.Tidak ada yang tahu di Indonesia bahwa uang yang dipakainya berjudi adalah hasil pemerasannya dari orang-orang cina yang berbisnis hiburan di Indonesia.Sudah dapat diduga bahwa partainya akan menutup-nutupi kematiannya ini.Sebab partainya sendiri seperti banyak partai lain yang bertumbuhan sejak kejatuhan orde baru dengan kebiasaan bermain politik uang,memperoleh uangnya itu dari hasil memeras orang-orang Cina di Indonesia. Selain daripada itu,ia termasuk salah seorang di antara banyak anggota legislatif Republik Indonesia yang memalsukan ijazah untuk dapat duduk di lembaga itu…..”
Begitu kerasnya kritikan ini untuk orang-orang Indonesia sampai-sampai Remy Sylado menuliskan bahwa inilah gambaran paling nyata: di dalam negeri berpenampilan sok nabi ketika di luar negeri ketahuannya kok babi. Ungkapan tersebut cukup membuat saya tergelitik,tapi sungguh kritikan yang sangat pedas bagi orang-orang yang tak lazim kita temui dalam Bangsa Indonesia ini.
Dari kisah novel ini dapat saya katakan begitu banyak rangsangan pemahaman berpikir yang disajikan oleh Remy Sylado di hadapan pembaca.Bagaimana agar kerangka berpikir kita diajak berjalan untuk dapat memahami bagaimana seluk-beluk Indonesia yang sebenarnya dan bagaimana agar kita peka terhadap Bangsa kita Indonesia yang penuh dengan warna-warni konflik sosial,ekonomi,agama,dan politik.Semua ini dapat dilihat mulai dari adanya kemunafikan,korupsi,serta kekerasan atas nama suku dan agama.Dalam olahan kreativitas tulisan di tangannya,Remy Sylado pun membuat Bahasa Indonesia menjadi hidup. Karena itu, sebuah apresiasi berupa acungan jempol ingin saya persembahkan kepada Penulis besar ini.

Tidak ada komentar: