Dalam
tulisannya, Remy Sylado mengawali kisahnya dengan pertemuan dua insan yang
berbeda negara. Kisah cinta picisan yang diolah di tangan Remy Sylado ini,
digambarkan bagaimana kisah cinta kedua insan yaitu, Joko Trianto dan Mary Jane
Storm menjadi novel yang disisipi sarat kritik sosial tentang kemunafikan, korupsi,
dan kekerasan atas nama suku dan agama. Adalah Joko Trianto seorang mahasiswa Indonesia
di Australia sedikit gondrong, bertindik di bibir dan pusarnya serta Mary Jane
Storm adalah mahasiswi Australia berambut panjang tergerai bertindik di lidah
dan pusarnya. Suratan kaki jualah yang menyebabkan kedua insan ini bertemu pertama kalinya di bandara I Gusti
ngurah Rai,Bali.Mary Jane Storm ke Bali dalam rangka ikut menaburkan bunga bagi
dua orang saudaranya yang tewas di Kuta akibat Bom pada bulan Oktober
lampau.Sedangkan Joko Trianto ke Victoria dalam rangka kembali ke kuliah di
Melbourne setelah berlibur selama sebulan di kampung halamannya di Malang.
Percakapan
kedua insan tersebut diwarnai penuh keakraban, karena kebetulan mereka berdua
sama-sama dapat dikatakan ‘anak zaman’ yaitu orang muda di bawah 30 tahun yang
atas suka sendiri menjadikan diri mereka masing-masing sebagai korban mode. Mungkin
ini hal yang tak lazim lagi di dengar di Indonesia ataupun di negara lain yang
sarat dengan kebebasan berekspresi.Mereka bakal siap akan mengatakan: hak asasi
mereka dijamin oleh perserikatan Bangsa-Bangsa.Di sela-sela duduk bersanding di
kursi ruang tunggu bandara percakapan dua insan yang berbeda negara itu
diwarnai keakraban tapi sekaligus pula berselisih.
Dalam
kreativitas tulisannya, cukup menjadi sebuah perenungan dalam rahim pemikiran
saya betapa pertanyaan-pertanyaan kecil yang dilontarkan oleh Mary Jane Storm
sebagai warga Negara Australia yang langsung mengklaim pesawat Garuda sering
mengalami keterlambatan sebetulnya secara tidak langsung memberi kesan remeh
terhadap Indonesia yang sering tidak menghargai waktu bahkan selalu
mengulur-ulurkan waktu. Betapa sulitnya menghapus kesan buruk sebagian orang
Australia sejak zaman orde baru hingga kini. Dalam Kisah ini menceritakan pula
bahwa Mary Jane Storm adalah seorang yang ateis.Yang agak sedikit menarik
disini sekaligus membuat saya terkagokkan adanya argument Mary Jane Storm bahwa
“Indonesiamu memang aneh sekali.Ateisme dianggap bahaya,sementara primordalisme
agama yang tumbuh bersama dengan sentimen-sentimen kesukuan, dan berkembang
menjadi terorisme dengan bom,dianggap bukan bahaya.”
Wacana
perdebatan kedua anak zaman ini cukup membuka kerangka berpikir tentang
pemahaman sebenarnya mana yang lebih kejam,komunis yang ateis ataukah terorisme
yang mengatasnamakan agama? Yang menjadi pemikiran tampaknya ketika Bom Bali
yang terjadi di Indonesia kepercayaan dunia terhadap Indonesia makin buruk.Yang
artinya Indonesia bisa saja akan terlunta-lunta,tidak punya apa-apa selain industri
pariwisata.Pariwisata pun sebenarnya bukan sepenuhnya milik Indonesia.Indonesia
hanya memiliki alamnya.Tapi yang mengelola tetap modal asing.Hal ini sangat
erat kaitannya dengan pemahaman tentang bagaimana sejarah kedatangan orang
Eropa ke Nusantara dan awal kolonialisasi yang motif awal kedatangan berdagang
menjadi penjajahan.
Adanya
infrastruktur telah membawa efek perubahan sosial diantaranya pembangunan jalan
raya menyambungkan satu daerah dengan daerah lain dan menyambungkan hubungan
antar manusia,serta meningkatkan volume perdagangan.Sebagaimana dijelaskan di
dalam Simbolon,1999 ini menjadi awal terbentuknya formasi awal keindonesiaan
yang meliputi kesatuan ekonomi,kesatuan politik dan kesatuan identitas.Secara tidak
langsung hadirnya penjajah di Nusantara telah memberikan implikasi yang besar
bagi bangsa Indonesia diantaranya perang melawan kolonialisme telah mendorong
atau memfasilitasi penyatuan Nusantara,Culturrestelsel telah melahirkan sistem
perkebunan dan pertanian modern,kelahiran elit baru di mana ada
priyayi,tentara,dan orang-orang cerdas yang menjadi transeter suatu perubahan.
Dalam
hal ini muncul naluri saya untuk bersikap skeptis.Bangsa yang besar ini yang
setiap tanggal 17 Agustus dengan bangga memproklamasikan isi kalimat teks
proklamasi yaitu “kami bangsa Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaan……” apakah sudah layak disebut merdeka?
Merdeka dari sudut mana jika paradoksnya ekonomi saja belum merdeka,kemiskinan
merajalela,korupsi tidak pernah surut dari kegila-gilaan pejabat-pejabat
Indonesia,dan perusahaan masih banyak dikelola oleh orang asing.Apakah ini yang
dinamakan merdeka ketika pembodohan terus saja dirasuki dalam jiwa masyarakat
Indonesia.
Dalam
novel ini pun tampaknya Remy Sylado mencoba menarik pembaca untuk mencoba
melakukan perenungan kecil sebagai contoh kalimat kutipan yang menarik
disajikan dari peristiwa perdebatan oleh Mary Jane Strom mengatakan bahwa “kesalahan
yang rentan di Indonesia karena ketika masih kecil tidak segera
dilawan.Kesalahan yang tidak segera dilawan lambat laun berubah menjadi
kebiasaan buruk.Dan kebiasaan buruk yang tidak segera dilawan lambat laun
berubah menjadi gaya hidup.Itulah ciri Indonesia.Dalam cerita ini dihadirkan
pula oleh peran dua malaikat yang masing-masing mendampingi atau mengisi
relung-relung pemikiran dua insan tersebut.Dalam hal ini Remy Sylado mencoba
menawarkan kita untuk percaya bahwa malaikat yang menjaga manusia bisa juga
ikut mencampuri persoalan-persoalan insani manusia menyangkut kemauannya,keengganannya,kesukacitaannya,kedukacitaannya,semangatnya,jiwanya,dan
seterusnya.Mungkin manusia tidak menyadari itu.Kedua malaikat ini berperan
menghadirkan bisikan-bisikan untuk menentukan jalan kedua insan ini.Katakanlah
agar mereka saling jatuh cinta.
Kisah
yang dituliskan oleh Remy Sylado dalam novelnya ini dirancang begitu unik
betapa tidak kehadiran dua malaikat penjaga disamping Joko Trianto dan Mary
Jane Storm turut berbicara dan menghidupkan suasana isi novel ini.Dalam
penulisannya,Remy Sylado menuangkan ide kritik terhadap manusia Indonesia
diperankan oleh perbincangan dua malaikat.Sebagai contoh kutipan kalimat
menarik yang dituliskan bahwa manusia itu sering sekali dalam rangka
menunjukkan dan memamerkan kesalehannya lantas bertindak lebih Tuhan daripada
Tuhan.Terutama sekali manusia bangsanya Joko Trianto,ya sebut saja Indonesia. Fanatisme
terjadi, dan berakibat benturan antar agama,lantaran manusia mau menunjukkan dan
memamerkan kesalehannya hanya pada jangkauan kuantitas bukan kualitas.
Fanatisme
yang berkembang dan menular ternyata tidak hanya dengan simbol-simbol
lahiriah,misalnya pada penampilan fisik,khususnya pada apa yang dipakai,tapi
juga akhirnya dengan Bom.Sementara yang jarang sekali dilihat dengan
jernih,yaitu dengan kepala dingin dan hati terbuka,bahwa terorisme di Indonesia ini berkaitan erat dengan
masalah ekonomi.Terlalu banyak orang miskin di sini.Orang miskin yang sudah
terlau letih dengan kemiskinan gampang terasut,dan akan menganggap
pelanggaran-pelanggaran pidana justru sebagai keniscayaan untuk menghajar orang-orang
yang sombong-sombong.
Jadi
menurut saya kekacauan yang selama ini beraneka ragam jenisnya yang telah pernah
terjadi di Indonesia,sebenarnya berpangkal pada urusan ekonomi masyarakat yang
mengalami perbedaan pendapatan penghasilan.Cukup menggelitik rahim pemikiran
saya untaian-untaian kalimat indah hasil kreativitas berpikir yang dihadirkan
oleh Remy Sylado ini yang menyatakan bahwa sepertinya nama Indonesia ini harus
diganti saja.Supaya tidak sakit-sakitan,ya Indonesia diganti saja dengan nama
lama,Nusantara.Ah,Nusantara itu berbau Jawa.Wawasan Nusantara dalam pikiran
Gajah Mada adalah kolonialisasi dalam imperialisme Majapahit.Pasti orang Sunda
yang langsung gatal mendengar Gajah Mada dan Majapahit.Orang Sunda yang tinggal
satu pulau dengan orang Jawa saja sudah gatal,apalagi orang Aceh di ujung
Sumatra.Selama ini nama Indonesia dijadikan sebagai tameng,perisai,zirah,untuk
menutup-nutupi penyakit ketidakmampuan dan ketidak becusan mengurus negara dan
bangsa.Inspirasi ini dilukiskan sebagaimana di Indonesia ini memang ada tradisi
mengganti nama terhadap seorang anak jika dengan nama tertentu anak itu
sakit-sakitan.Mungkin ini juga yang terpikirkan oleh penulis novel apakah tidak
lebih baik mengganti saja nama Indonesia supaya Indonesia tidak tidak
sakit-sakitan.Soalnya dalam semua rezim,mulai dari orde lama,orde baru,sampai
orde Reformasi,Indonesia tetap sakit.
Dari
pernyataan tersebut tentunya timbul suatu kerangka berpikir.Seandainya kata Indonesia
diganti sebaiknya apa? Siapakah yang berwenang penuh untuk mengganti nama Indonesia?
Tentunya bukan sosok manusia yang bernama orang tua yang dengan serta merta mengganti
nama anaknya sendiri begitu penuh pemikiran yang matang.Kata ‘Indonesia’ kan
sudah mempunyai nilai perjuangan bagi generasi pendahulu dari angkatan 1928
sampai angkatan 1945.Jika membuka kembali memori rekaman isi sumpah pemuda
tentunya rasa nasionalisme kita akan kembali terketuk bahwa kita adalah bangsa
yang satu bangsa Indonesia.Jadi adakah kata yang sepantasnya untuk menggantikan
kata Indonesia agar tidak sakit-sakitan lagi? Hanya waktu yang terus berproses
akan menjawabnya.
Figur
Joko Trianto warga negara Indonesia dan Mary Jane Storm warga negara Australia
dijadikan pula sorotan pengkritikan dalam novel ini.Dimana orang Indonesia dan
Australia itu sama-sama berkepribadian mengambang.Orang Indonesia sudah dikenal
luas di dunia sebagai bangsa paling aneh,konon berTuhan melalui hafalan sampai
bibir lecet tentang pancasila-nya,tapi juga paling hipokrit,paling korup,dan
ini semua terjadi di saat seseorang menjadi pejabat negara,menjadi
birokrat,menjadi jaksa,menjadi hakim,menjadi walikota,menjadi gubernur,menjadi
menteri,dan seterusnya.Pejabat negara yang sudah haji berkali-kali tapi
kelakuannya tidak berubah.Sewaktu ditanya,dia bilang berhaji itu tugas agama,korupsi
itu tugas negara.Kata-kata bagus ini dikutip oleh Remy Sylado dari Ahmad
Sjafi’i Ma’arif,wawancara Tempo,7 Desember 2003.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa keakuan orang Indonesia itu sangat buruk di antara
bangsa-bangsa lain di dunia.Ini terlihat dari lagu kebangsaan Indonesia Raya
merupakan lagu satu-satunya di dunia yang sangat individualistis.Lagu-lagu
kebangsaan di seluruh dunia menggunakan kata yang mengandung arti kolektif
‘kami’ atau ‘kita’,dan hanya Indonesia Raya yang menggunakan kata
individualistis ‘aku’ : Indonesia tanah air-ku,tanah tumpah darah-ku,di sanalah
aku berdiri-dan di tempat aku berdiri tak boleh ada orang lain yang berdiri
bersamaku….”Simak saja lagu kebangsaan Australia,misalnya jelas sekali menggunakan kata ‘kita’ atau ‘kami’ ,we,our,us:Australians all let us rejoice;for we are young and free ;our
home is girt by sea…..”.Berbicara tentang Australia lebih lanjut Remy
Sylado menceritakan bahwasanya mulanya Australia sangat elok di mata Indonesia.
Dulu
ketika Indonesia baru diproklamasikan mereka,dan Belanda tak mengindahkan
bahkan melakukan aksi militer dengan alasan sebagai aksi polisional,Australia
melalui Chifley selaku perdana menteri dan Evatt selaku menteri
luarnegeri,mendukung penuh Republik Indonesia.Australia pun pada tanggal 30
Juli 1939 supaya menghentikan serangan Belanda terhadap Indonesia.Setelah itu
penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar di Den
Haag adalah juga karena peran Australia yaitu melalui Critchley,yang pernah
pula menjadi Dutabesar Australia di Jakarta antara 1978-1981.
Tapi
memang yang buruk-buruk lebih membekas dalam ingatan ketimbang yang
baik-baik.Demikian pula luka Indonesia terhadap Australia dimulai sejak Menzies
dari partai Liberal menjadi Perdana Menteri Australia,ketika Belanda tidak mau
menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia,dan Australia mendukung penuh terhadap
koppig-nya Belanda.Masih sampai
1970-an sikap Australia terhadap Indonesia tergolong manis.Sebab,waktu itu
perdana menterinya William setuju Indonesia melancarkan operasi militer di
Timor-Timur.Setelah Soeharto dimakzulkan di akhir dasawarsa 1990-an, maka
perubahan pandangan Australia terhadap Indonesia terjadi bersamaan dengan
berubahnya kekuasaan yang dikendalikan oleh partai Liberal.Biang keroknya
adalah Habibie yang digolkan Golkar untuk menjadi presiden RI ke-3 melakukan
sesuatu yang kira-kira untuk dipuji dunia Internasional,yaitu menyelenggarakan
referendum bagi Timor Timur,disusul lepasnya Timor Timur dari NKRI.Dari situ
pula hubungan yang pernah bagus antara Indonesia dan Australia ketika yang
menjabat perdana menteri dari partai Sosialis,Whitlam dan Keating menganggap
Timor Timur sebagai wilayah NKRI lantas buyar berganti dengan permusuhan dengan
kesombongan pihak Australia sebagai bangsa yang repot ingin tampil sebagai ras
kulit putih yang konon lebih superior atas kulit berwarna di kawasan Asia.
Di
balik sarat kritikan sosial,kemunafikan,korupsi,serta kekerasan atas nama suku
dan agama.Novel ini pun menghadirkan bagaimana sebuah kisah romantisme kedua
remaja yang berbeda warga negara tersebut.Selagi kedua anak zaman ini menunggu
matahari Melbourne perjalanan mereka diwarnai berbagai perasaan apakah itu
cinta atau sekedar nafsu belaka yang mereka sendiri tak mengerti
maksudnya.Kisah ini mencapai puncaknya ketika masing-masing diantara mereka
saling memohon maaf bahwasanya rasa cinta insan yang berbeda status warga
negara ini,diantara mereka tidak bisa terjalin sebab Joko Trianto telah
mengakui bahwa dirinya adalah seorang Homoseks. Sungguh tidak terduga Mary Jane
Storm pun mengakui bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang Lesbian.Mereka adalah
anak zaman yang tetap lebih suka menjadi m anusia-manusia sakit.
Dalam
hal ini Remy Sylado pun membandingkan dua orang ‘anak zaman’ ini yang merupakan
tokoh utama dalam cerita ini,yaitu tentang kritikan terhadap
kemunafikan.Sebenatnya siapa yang paling munafik diantara keduanya? Apakah Joko
Trianto yang berkebangsaan Indonesia
atau Mary Jane Storm yang berkebangsaan Australia yang mengakui dirinya
sebagai ateis? Mari Jane Storm yakin Tuhan lebih menghargai orang ateis yang
dengan berani menyangkal Tuhan,ketimbang orang munafik.Yang paling menonjol
dari orang Indonesia
adalah kemunafikannya dan korupsinya yang begitu besar.
Hal
ini dapat dilihat dalam kisah yang dihadirkan adanya seorang bapak yang tidak
dijelaskan namanya,sempat mengajak Joko Trianto berkenalan di dalam
pesawat.Sungguh tidak disangka ternyata bapak tersebut semata-mata datang ke
Melbourne bukan untuk berobat sebagaimana kesan yang dihadirkannya,tapi
semata-mata untuk berjudi di Crown.Dia anggota legislatif.Suratkabar-suratkabar
di Jakarta sering mengutip omongannya sebagai moralis yang keras sekali
menuntut supaya tempat-tempat hiburan,yang disebutnya sebagai tempat-tempat
maksiat,ditutup.Ketika melakukan perjudian tersebut malaikat pun mencabut
nyawanya. Kasus berita tersebut kemudian diekspos di pertelevisian Melbourne
diuraikan dengan cara amat yang telanjang: “Selain berlangganan judi di
Melbourne,orang Indonesia ini berjudi juga di Macao sampai Las Vegas.
Sepanjang
petualangannya ia tidak pernah beruntung.Tidak ada yang tahu di Indonesia bahwa
uang yang dipakainya berjudi adalah hasil pemerasannya dari orang-orang cina
yang berbisnis hiburan di Indonesia.Sudah dapat diduga bahwa partainya akan
menutup-nutupi kematiannya ini.Sebab partainya sendiri seperti banyak partai
lain yang bertumbuhan sejak kejatuhan orde baru dengan kebiasaan bermain
politik uang,memperoleh uangnya itu dari hasil memeras orang-orang Cina di
Indonesia. Selain daripada itu,ia termasuk salah seorang di antara banyak
anggota legislatif Republik Indonesia
yang memalsukan ijazah untuk dapat duduk di lembaga itu…..”
Begitu
kerasnya kritikan ini untuk orang-orang Indonesia
sampai-sampai Remy Sylado menuliskan bahwa inilah gambaran paling nyata: di
dalam negeri berpenampilan sok nabi ketika di luar negeri ketahuannya kok babi. Ungkapan
tersebut cukup membuat saya tergelitik,tapi sungguh kritikan yang sangat pedas
bagi orang-orang yang tak lazim kita temui dalam Bangsa Indonesia ini.
Dari
kisah novel ini dapat saya katakan begitu banyak rangsangan pemahaman berpikir
yang disajikan oleh Remy Sylado di hadapan pembaca.Bagaimana agar kerangka
berpikir kita diajak berjalan untuk dapat memahami bagaimana seluk-beluk
Indonesia yang sebenarnya dan bagaimana agar kita peka terhadap Bangsa kita
Indonesia yang penuh dengan warna-warni konflik sosial,ekonomi,agama,dan
politik.Semua ini dapat dilihat mulai dari adanya kemunafikan,korupsi,serta
kekerasan atas nama suku dan agama.Dalam olahan kreativitas tulisan di
tangannya,Remy Sylado pun membuat Bahasa Indonesia menjadi hidup. Karena itu, sebuah
apresiasi berupa acungan jempol ingin saya persembahkan kepada Penulis besar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar