Kamis, 01 Mei 2014

Memaknai Hari Buruh Sedunia (May Day)


 



 

Salam blogger,

 

Setiap tanggal 1 Mei, saya pasti selalu mendapat sajian menarik di TV terkait demonstrasi besar-besaran para buruh. Dahulu di bangku sekolah, saya hanya bisa melihat dan mendengar curahan hati mereka melalui media, tetapi kini ternyata saya adalah bagian dari mereka. Sebab, dulu saya hanyalah bocah kecil yang tidak tahu menahu apa itu buruh, yang saya tahu hanyalah bagaimana saya hari ini bisa makan, dan bermain bersama teman sebaya saya. Kini, saat saya telah menjadi bagian dari mereka, saya pun mencoba menapaki makna di balik hari buruh sedunia yang tahun ini jatuh pada hari Kamis. Secara esensi, may day tentu mempunyai makna yang begitu mendalam. Ia memberikan pelajaran dan semangat perjuangan yang begitu berharga bagi seluruh rakyat dunia. 

 

Secara historis, may day adalah tonggak kemenangan bagi kaum buruh dalam perjuangan menuntut pengurangan jam kerja dari 12-16 jam per hari menjadi 8 jam perhari, yang diraih melalui perjuangan panjang (Tahun 1886-1890an) yang begitu hebat dengan pengorbanan yang tidak akan pernah ternilai untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan imperialisme (kapitalisme monopoli) yang berlipat-lipat. Sistem kapitalisme yang dimaksud, dimana berlaku sebuah hubungan produksi yang dianggap timpang antara buruh dengan pemilik modal. Bagi pemilik modal, buruh dianggap sama seperti bahan baku atau bahan mentah, upah bagi kaum buruh tidak ditetapkan berdasarkan pembagian keuntungan dari hasil produksi. Padahal, tanpa keberadaan buruh, mesin-mesin termasuk bahan baku yang ada di pabrik tidak akan berubah menjadi barang baru dan tidak pernah akan ada keuntungan disana. Sistem yang demikian ini, secara tidak langsung mensyaratkan pencurian nilai lebih terhadap kaum buruh (Front Perjuangan Rakyat, 2013).

 

Inilah makna yang sesungguhnya dari perjuangan kaum buruh lebih dari seratus tahun yang silam. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa bekerja dengan waktu yang panjang dengan upah yang tidak ditetapkan, hanya akan memberikan keuntungan berlipat bagi para pemilik modal. Jam kerja yang panjang selain hanya akan memberikan super profit bagi kapitalisme, juga akan menghancurkan pengetahuan dan kebudayaan kaum buruh. Sebab, tentu kaum buruh tidak akan memiliki waktu lagi untuk belajar dan meningkatkan pengetahuan di luar jam kerja, kaum buruh juga tidak mempunyai waktu lagi untuk menumpahkan kasih sayang dalam mengurus kehidupan keluarganya, serta tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya.

 

Tahukah kawan, di Indonesia sendiri peringatan hari buruh sedunia (may day) baru mulai kembali dilaksanakan pasca runtuhnya Orde Baru. Perjuangan rakyat di seluruh daerahlah yang pada akhirnya membuat may day kembali marak diperingati. Kronologisnya, mulanya may day di Indonesia disahkan melalui UU No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun 1948, yang mana dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan, “Pada tanggal 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”. Namun, karena alasan politik, rezim Orde Baru kemudian melakukan larangan terhadap peringatan Hari Buruh Internasional. Sejak saat itupula, peringatan May Day tidak pernah diakui oleh pemerintah Indonesia. Barulah pasca runtuhnya Orde Baru, melalui perjuangan massa rakyat yang tersebar diseluruh daerah, may day kembali marak diperingati. 

 

Penelusuran yang saya lakukan dalam beberapa media, sekiranya isu ter-hot yang berkembang di kalangan buruh telah menempatkan "upah" sebagai isu utama. Bisa dicermati, pada tahun 2013 kaum buruh terbukti berhasil memenangkan tuntutannya atas upah, dimana kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) secara nasional mencapai 18,32 persen, dengan pencapaian UMP terhadap Komponen Hidup Layak (KHL) mencapai 89,78 persen. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang akrab disapa cak Imin mengatakan, kenaikan UMP 2013 tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur yang mengalami peningkatan 48,86 % dari Rp 1,177 juta menjadi Rp 1.752.073. Sedangkan kenaikan UMP terendah terjadi di Sulawesi Barat yang mengalami kenaikan 3,37% dari Rp 1.127.000 menjadi Rp 1.165.000. Sedangkan dari keseluruhan 33 provinsi di Indonesia, yang menetapkan UMP terbesar adalah DKI Jakarta sebesar Rp 2.200.000 (finance.detik.com, 2013).

 

Meskipun demikian, di beberapa daerah kenaikan UMP sepertinya belum cukup mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Semakin meningkatnya harga kebutuhan pokok, mungkin inilah salah satu alasannya. Pasalnya, dalam rezim SBY-Budiono telah dilakukan berbagai kebijakan mulai pengurangan subsidi sosial yang berakibat pada naiknya harga kebutuhan diantaranya, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), serta konversi minyak tanah menjadi gas elpiji adalah beberapa contoh kebijakan yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan kaum buruh.Tentu masih banyak lagi problema yang telah menjangkit di negeri kita ini. Untuk itulah, saya berharap akan hadir pemimpin yang dengan kesungguhan hati membawa kepentingan rakyat demi terciptanya kehidupan yang sejahtera. Semoga...


~ Happy May Day ^_^

 

 

Tidak ada komentar: