Jumat, 02 Mei 2014

Penguatan Potensi Lokal Melalui Pendidikan dalam Arus Globalisasi



Dalam mata kuliah Perubahan Politik, dimana saya pernah menjadi mahasiswi di dalamnya, ada suatu pembahasan menarik yang menjadi perenungan dalam rahim pemikiran penulis. Ketika itu sedang dilakukan pembahasan terkait globalisasi dan lokalisasi, kemudian dalam kesempatannya Nanang Indra Kurniawan[1] sempat menceritakan bagaimana ada seorang siswa Indonesia yang tidak lulus Ujian Nasional dan tidak lulus dalam penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas ternama di Indonesia, padahal siswa ini memiliki potensi yang cukup besar karena pernah memenangkan olimpiade tingkat Internasional di bidang sains. 


 
Ada lagi kasus dimana banyak orang-orang Indonesia yang berprestasi namun sungguh ironis banyak diantaranya yang justru mengabdikan dirinya bukan di negaranya sendiri, tetapi hidup dan mengembangkan potensinya di negara lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi bila pemerintah mempunyai kebijakan khusus yang tinggi terhadap pendidikan. Pada poin inilah, mengapa kemudian keyword pendidikan menjadi hal yang menarik untuk dituliskan dalam blog ini, dengan mengkaitkan pada pembahasan globalisasi itu sendiri, maka penulis bermaksud memfokuskan dirinya terkait “Penguatan Potensi Lokal Melalui Pendidikan dalam Arus Globalisasi”. Pembahasan secara mendalam dan tajam dengan menggunakan pisau analisis dari berbagai literatur yang dilacak secara cermat berikut akan dijelaskan dalam penulisan ini.


Jika kita kembali berkaca pada sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia menuju pada pencapaian kemerdekaan, maka dapat dilihat bagaimana para pemimpin perjuangan kemerdekaan ketika itu memulai kegiatannya dari bidang pendidikan. Meminjam penjelasan Karlina Leksono-Supelli dan Haryatmoko (2000:252a) dijelaskan bahwa benang merah bagi prasyarat terbentuknya kebangsaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari munculnya kesempatan pendidikan untuk kaum bumiputra pada akhir abad ke-19.


 Bisa dilihat ketika itu dalam Perhimpoenan Indonesia yang dulunya bernama Indonesische Vereeniging yang bermaksud menggalang kesadaran kebangsaan di segala lapisan rakyat Indonesia mencoba mewujudkan semangat dan cita-citanya bukan melalui partai politik, melainkan lewat pendidikan yang dirintis oleh Taman Siswa dan INS (Indonesisch Nederlansche School)[2]. Hal yang kemudian ingin digaris bawahi penulis disini adalah terkait akan pendidikan itu sendiri. Betapa pendidikan telah menjadi suatu hal yang sangat penting dalam proses pemerdekaan. 


Penjelasan pemerdekaan disini adalah terlepasnya suatu bangsa dari penguasaan bangsa lain. Dimana dahulu istilah familiarnya sering disebut sebagai bentuk kolonialisme. Akan tetapi, dalam perkembangannya istilah kolonialisme ini seperti apa yang dikatakan oleh Sindhunata, 2003 dalam Bambang Suteng telah menanamkan benih-benihnya dari apa yang sekarang kita sebut sebagai globalisasi. Misalkan pelaksanaannya dapat melalui kontrol yang kuat terhadap negara-negara berkembang dalam bentuk teori, ideologi, dan proses perubahan sosial mereka di negaranya sendiri. Sehingga dalam bahasa penulis, globalisasi dapat dipahami sebagai suatu bentuk perpanjangan dari kolonialisme pada berabad-abad yang lalu. 


Ada suatu hal yang harus dipahami disini ketika kita ingin mempertanyakan perbedaan globalisasi yang telah tercipta pada abad yang lalu dengan yang ada sekarang, maka secara tajam letak perbedaannya adalah “faktor kecepatan”[3]. Hal ini tidak lain disebabkan karena adanya kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi, transportasi, dan komunikasi misalnya dalam bentuk internet, komputer, faximile, e-mail, dan penerbangan antarnegara. Faktor lain yang coba dijelaskan Nanang Indra Kurniawan dalam pertemuan kuliahnya adalah adanya ekstensivity dan intensivity. Ekstensivity dapat dipahami sebagai suatu perubahan yang menjangkau wilayah etnografis secara meluas dan nyaris tanpa batas. Sedangkan Intensivity lebih kepada adanya perubahan kebiasaan yang mengglobal dalam kehidupan sehari-hari misalkan perubahan pola makanan, pola berpakaian, gaya berbicara, dan lain sebagainya. 


Perlu untuk diperhatikan bahwa globalisasi bertumpu pada kekuatan kapitalisme global yang didukung oleh (1) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang teknologi informasi serta bioteknologi; (2) kerja sama regional dan internasional; (3) kesadaran akan hak-hak asasi manusia dan kekuatan demokrasi serta keadilan gender; (4) pasar bebas yang mendorong persaingan yang tidak seimbang antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang; (5) kesadaran lingkungan[4]


Berangkat dari pernyataan yang telah dikutip tersebut, titik kritis yang kemudian ingin ditekankan penulis yakni ketika globalisasi yang bertumpu pada kekuatan kapitalisme global dengan aspek-aspek pendukung di dalamnya tadi, maka hal ini menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya inilah kemudian tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi masyarakat lokal. Sehingga pertanyaannya adalah tinggal bagaimana caranya masyarakat tersebut dapat menyikapinya secara kritis dan inovatif. 


Kritis dalam artian ada suatu kemampuan dalam memilah maupun menganalisis informasi yang mengalir tak terkendali serta inovatif mampu menentukan pilihan politis bentuk pendidikan seperti apa yang sekiranya relevan untuk masyarakat. Sebab, hal yang dikhawatirkan disini ketika bentuk pendidikan tidak relevan terhadap masyarakat, maka yang terjadi adalah terpenjaranya masyarakat lokal itu di tengah arus globalisasi yang diwujudkan dengan adanya ketergantungan negara-negara berkembang kepada negara-negara industri kaya. 


Jika kita berbicara munculnya ketergantungan antarnegara dan antarbangsa, maka kadarnya pun akan memiliki perbedaan. Sebab di satu pihak negara-negara berkembang yang cenderung dijadikan sasaran atau objek[5] dalam globalisasi tentunya akan memiliki tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara industri kaya seperti Amerika dan Jepang yang lebih sebagai pelaku atau subjek dalam globalisasi. Sekarang permasalahannya adalah ketika negara-negara berkembang seperti halnya dalam masyarakat Indonesia lebih sebagai sasaran atau objek dalam globalisasi, maka ia pun pada prinsipnya akan cenderung membuka diri terhadap pengaruh globalisasi baik itu yang nantinya positif atau negatif. 


Sedangkan Amerika dan Jepang yang merupakan pelaku atau subjek globalisasi yang tidak hanya memiliki investasi besar di seluruh dunia, tetapi juga menjalin hubungan diantara keduanya secara simetris karena kemampuan finansial, sumber daya manusia, dan teknologi yang sama-sama besar akan cenderung mempengaruhi nilai mata uang dan perekonomian negara-negara yang lebih menjadi sasaran atau objek globalisasi tersebut. Munculnya ketergantungan sebagaimana yang telah diungkapkan tadi, telah membuat penulis cukup berpikir keras yakni bagaimana nantinya agar arah pendidikan benar-benar mampu menyikapi secara kritis dan inovatif dalam masuknya berbagai tawaran dunia luar yang mana dapat memunculkan kecenderungan pada terancamnya budaya dan identitas lokal. 


Suatu hal yang sekiranya menjadi perenungan, mengapa kemudian investasi akan pendidikan menjadi basis yang cukup penting dirasakan penulis adalah ketika suatu masyarakat di dalam suatu negara memiliki pendidikan, maka secara bertahap akan melahirkan pula kritisme dari masyarakat itu sendiri. Melalui teorisasi Anthony Giddens dimana globalisasi pada kenyataannya akan membuat sekelompok masyarakat bahkan suatu negara akan memiliki ketergantungan dengan pandangan bahwa segala sesuatunya hidup dalam satu dunia, kita pun akan dapat memahami bahwa pada dasarnya globalisasi dipandang secara berbeda oleh berbagai kaum. 


Di satu sisi oleh kaum skeptis globalisasi hanyalah omong kosong belaka yang mana banyak negara yang hanya memperoleh sedikit manfaat dari perdagangan luar negeri. Sedangkan di sisi lain oleh kaum hiperglobalis, globalisasi lebih dianggap sebagai suatu “berkah” dimana manfaat dan dampaknya dapat dirasakan di mana pun. Sehingga Oleh Kenichi Ohmae[6] lebih sering menyebutnya sebagai sesuatu yang mengarah ke sebuah “dunia tanpa batas”. Mencermati pandangan yang berbeda dari kedua kaum tersebut, sekiranya dapat dipetik suatu pemikiran bahwa globalisasi dengan sendirinya telah memunculkan suatu hal yang seringkali sangat dilematis. Dalam artian kita harus dihadapkan pada pilihan apakah akan menerima globalisasi itu sebagai suatu “berkah” ataukah justru “malapetaka”. 


Poin yang harus dicermati disini adalah ketika globalisasi itu telah menjadi suatu ruang yang tanpa batas, maka hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan. Artinya kemudian apa? Ketika globalisasi merupakan ruang yang tanpa batas dan pesonanya pun memiliki kecepatan yang luar biasa serta menghadirkan dirinya sebagai “wajah bermuka dua” dengan segala pertimbangan akan positif dan negatif, tentunya secara tidak langsung akan menuntut pula masyarakat untuk memiliki pengetahuan akan hal itu. Dengan demikian tantangan yang telah ada dihadapan ini telah memunculkan pemikiran kritis, yakni pendidikan masyarakat lokal sudah seharusnya dipacu bagaimana caranya agar dapat berpikir cepat pula, dan kritis memilah sesuatu hal yang positif tanpa melupakan nilai-nilai budaya lokal di tengah arusnya globalisasi yang segala sesuatunya mudah diakses begitu cepat. 


Mengapa nilai-nilai budaya lokal menjadi hal penting untuk penulis katakan. Sebab terkait dengan adanya intensivity sebagaimana yang telah diungkapkan di atas tadi, yakni adanya perubahan kebiasaan yang mengglobal kemudian menularkan kepada masyarakat lokal melalui pola makanan, pola berpakaian, gaya berbicara, dan lain sebagainya, penulis mengkhawatirkan proses lokalisasi terhadap pergeseran kebiasaan pola hidup sehari-hari yang datang dari budaya luar tadi dapat menghilangkan budaya lokal Indonesia yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. 


Di sinilah kemudian arti penting penguatan lokal melalui pendidikan dalam arus globalisasi. Ketika globalisasi menjadi suatu hal yang dilematis secara praktis pendidikan akan menemukan peranannya. Peran pendidikan yang dimaksud penulis dapat meliputi bagaimana aktor yang terlibat di dalamnya yakni siswa/siswi, mahasiswa/mahasiswi, guru, dosen, lembaga pendidikan itu sendiri, serta pendidikan yang diberikan dalam lingkup keluarga, dimana dapat melalui penanaman nilai-nilai (moral) dan peningkatan mutu pelayanan atau fasilitas pendidikan. Lalu pertanyaannya adalah ketika globalisasi merupakan suatu hal yang dilema bagaimana kemudian peran pendidikan menghadapi tantangan tersebut? Tentunya ada dua pilihan apakah akan masuk dalam arus globalisasi atau menolak globalisasi sebagai suatu hal yang tidak memberikan manfaat.


Menyikapi kedua pilihan tersebut, dalam hal ini penulis berpandangan akan masuk dalam arus globalisasi tersebut yakni dengan catatan penting menerima globalisasi sebagai suatu bentuk untuk meningkatkan kompetensi diri tanpa melupakan nilai-nilai budaya lokal bangsanya sendiri. Peningkatan kompetensi diri ini dapat berupa adanya suatu keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui pendidikan yakni dengan belajar. Sebagaimana nasihat Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Indonesia bahwa “Merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga kuat mempertahankan karena itu ingatlah hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan”[7]


Selain itu bentuk peningkatan kompetensi diri melalui pendidikan di tengah arusnya globalisasi ini, melahirkan pula pemikiran bagi penulis yakni bagaimana dapat memanfaatkan arus globalisasi yang kemajuannya begitu pesat seperti dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi misalnya, melalui internet dan komputer menjadi suatu ruang dimana seseorang dapat mengambil nilai positifnya dalam rangka pengembangan kompetensi diri. Sebagai contoh dapat dicermati melalui kisah nyata yang cukup menarik di bawah ini:


Septinus George Saa, Mutiara Hitam dari Papua

Berharap tidak ada lagi korupsi di Indonesia? Rasanya harapan itu sia-sia. Berharap ada orang Indonesia meraih nobel? Nah, kalau yang ini rasanya bukan mimpi kosong. Setidaknya, harapan itu membersit ketika pertengahan April lalu, Septinus George Saa, seorang putera Papua, memenangi lomba “First Step to Nobel Prize in Physics”. Oge demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya “Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor” itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas. Oge adalah siswa di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan oase disini. Ia mulai menemukan internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia. (Sumber: Kompas, 27 Juni 2004 dalam Listyarti, Retno, Potensi Diri, Jakarta: Esis, 2005, hal. 13-14).



Dari pernyataan di atas tadi, suatu hal yang dapat dijadikan bahan perenungan kembali bahwasanya arus globalisasi memang harus disikapi secara kritis. Di satu sisi globalisasi memang “berkahnya“ tidak begitu dirasakan oleh segelintir orang, namun globalisasi di sisi lain juga perlu untuk disikapi sebagai suatu proses tantangan yang sebaiknya diterima secara positif.  

Berangkat dari semua pemaparan yang telah diungkapkan, dengan demikian butuh perhatian mendalam dalam penguatan potensi masyarakat lokal melalui pendidikan ditengah arus globalisasi yang penuh dengan daya saing tinggi. Sehingga sekiranya tidak berlebihan, jika penulis mengatakan bahwa pendidikan sudah sepantasnya menjadi salah satu strategi yang tidak dapat dikesampingkan. Sebab bagaimanapun syarat utama suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang besar dan maju, maka terlebih dahulu ia harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, kritis, dan inovatif dalam mengelola negaranya sendiri bukan di tangan bangsa lain ataupun membangun potensinya di luar negaranya sendiri sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal. Percuma suatu daerah dengan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah, namun masyarakat di dalamnya tidak dapat mengelolanya. Ironisnya justru mesin pengendalinya kemudian berada di tangan orang-orang asing.



[1]Staf Pengajar di Jurusan Ilmu  Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[2] Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi,  Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 252a
[3] Ibid., hal. 104
[4] Ibid., hal. 252b
[5]Ibid., hal. 105
[6] Kenichi Ohmae adalah salah satu ahli yang menjadi bagian dari kaum hiperglobalis, lihat Suteng, Bambang dkk, dalam  Dampak Globalisasi, Jakarta: Erlangga, 2006, hal. 139
[7] Lihat Ernawati, Rus (ed.), dalam  Indonesia Pada Awal Kemerdekaan, Klaten: Cempaka Putih, 2005, hal. 2  

Tidak ada komentar: