Dalam mata kuliah Perubahan Politik,
dimana saya pernah menjadi mahasiswi di dalamnya, ada suatu pembahasan menarik yang menjadi
perenungan dalam rahim pemikiran
penulis. Ketika itu sedang dilakukan pembahasan terkait globalisasi dan
lokalisasi, kemudian dalam kesempatannya Nanang Indra Kurniawan[1] sempat menceritakan
bagaimana ada seorang siswa Indonesia yang tidak lulus Ujian Nasional
dan tidak lulus dalam penerimaan
mahasiswa baru di salah satu universitas ternama di Indonesia, padahal siswa
ini memiliki potensi yang cukup besar karena pernah memenangkan olimpiade
tingkat Internasional di bidang sains.
Jika kita kembali berkaca pada sejarah
panjang perjalanan bangsa Indonesia menuju pada pencapaian kemerdekaan, maka
dapat dilihat bagaimana para pemimpin perjuangan kemerdekaan ketika itu memulai
kegiatannya dari bidang pendidikan. Meminjam penjelasan Karlina Leksono-Supelli
dan Haryatmoko (2000:252a) dijelaskan bahwa benang merah bagi prasyarat
terbentuknya kebangsaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari munculnya
kesempatan pendidikan untuk kaum bumiputra pada akhir abad ke-19.
Bisa dilihat ketika itu dalam Perhimpoenan
Indonesia yang dulunya bernama Indonesische
Vereeniging yang bermaksud menggalang kesadaran kebangsaan di segala
lapisan rakyat Indonesia mencoba mewujudkan semangat dan cita-citanya bukan
melalui partai politik, melainkan lewat pendidikan yang dirintis oleh Taman
Siswa dan INS (Indonesisch Nederlansche
School)[2].
Hal yang kemudian ingin digaris bawahi penulis disini adalah terkait akan
pendidikan itu sendiri. Betapa pendidikan telah menjadi suatu hal yang sangat
penting dalam proses pemerdekaan.
Penjelasan pemerdekaan disini adalah
terlepasnya suatu bangsa dari penguasaan bangsa lain. Dimana dahulu istilah
familiarnya sering disebut sebagai bentuk kolonialisme. Akan tetapi, dalam
perkembangannya istilah kolonialisme ini seperti apa yang dikatakan oleh
Sindhunata, 2003 dalam Bambang Suteng telah menanamkan benih-benihnya dari apa
yang sekarang kita sebut sebagai globalisasi. Misalkan pelaksanaannya dapat
melalui kontrol yang kuat terhadap negara-negara berkembang dalam bentuk teori,
ideologi, dan proses perubahan sosial mereka di negaranya sendiri. Sehingga
dalam bahasa penulis, globalisasi dapat dipahami sebagai suatu bentuk
perpanjangan dari kolonialisme pada berabad-abad yang lalu.
Ada suatu hal yang harus dipahami disini
ketika kita ingin mempertanyakan perbedaan globalisasi yang telah tercipta pada
abad yang lalu dengan yang ada sekarang, maka secara tajam letak perbedaannya
adalah “faktor kecepatan”[3]. Hal ini tidak lain
disebabkan karena adanya kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi,
transportasi, dan komunikasi misalnya dalam bentuk internet, komputer, faximile, e-mail, dan penerbangan antarnegara. Faktor lain yang coba
dijelaskan Nanang Indra Kurniawan dalam pertemuan kuliahnya adalah adanya ekstensivity dan intensivity. Ekstensivity
dapat dipahami sebagai suatu perubahan yang menjangkau wilayah etnografis
secara meluas dan nyaris tanpa batas. Sedangkan Intensivity lebih kepada adanya perubahan kebiasaan yang mengglobal
dalam kehidupan sehari-hari misalkan perubahan pola makanan, pola berpakaian,
gaya berbicara, dan lain sebagainya.
Perlu untuk diperhatikan bahwa globalisasi
bertumpu pada kekuatan kapitalisme global yang didukung oleh (1) kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang teknologi informasi serta
bioteknologi; (2) kerja sama regional dan internasional; (3) kesadaran akan
hak-hak asasi manusia dan kekuatan demokrasi serta keadilan gender; (4) pasar
bebas yang mendorong persaingan yang tidak seimbang antara negara-negara maju
dan negara-negara berkembang; (5) kesadaran lingkungan[4].
Berangkat dari pernyataan yang telah
dikutip tersebut, titik kritis yang kemudian ingin ditekankan penulis yakni
ketika globalisasi yang bertumpu pada kekuatan kapitalisme global dengan
aspek-aspek pendukung di dalamnya tadi, maka hal ini menjadi sesuatu yang tidak
dapat dipungkiri lagi bahwasanya inilah kemudian tantangan yang mau tidak mau
harus dihadapi masyarakat lokal. Sehingga pertanyaannya adalah tinggal
bagaimana caranya masyarakat tersebut dapat menyikapinya secara kritis dan
inovatif.
Kritis dalam artian ada suatu kemampuan
dalam memilah maupun menganalisis informasi yang mengalir tak terkendali serta
inovatif mampu menentukan pilihan politis bentuk pendidikan seperti apa yang
sekiranya relevan untuk masyarakat. Sebab, hal yang dikhawatirkan disini ketika
bentuk pendidikan tidak relevan terhadap masyarakat, maka yang terjadi adalah
terpenjaranya masyarakat lokal itu di tengah arus globalisasi yang diwujudkan
dengan adanya ketergantungan negara-negara berkembang kepada negara-negara
industri kaya.
Jika kita berbicara munculnya ketergantungan
antarnegara dan antarbangsa, maka kadarnya pun akan memiliki perbedaan. Sebab
di satu pihak negara-negara berkembang yang cenderung dijadikan sasaran atau objek[5]
dalam globalisasi tentunya akan memiliki tingkat ketergantungan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara industri kaya seperti Amerika dan
Jepang yang lebih sebagai pelaku atau
subjek dalam globalisasi. Sekarang permasalahannya adalah ketika
negara-negara berkembang seperti halnya dalam masyarakat Indonesia lebih
sebagai sasaran atau objek dalam globalisasi, maka ia pun pada prinsipnya akan
cenderung membuka diri terhadap pengaruh globalisasi baik itu yang nantinya
positif atau negatif.
Sedangkan Amerika dan Jepang yang
merupakan pelaku atau subjek globalisasi yang tidak hanya memiliki investasi
besar di seluruh dunia, tetapi juga menjalin hubungan diantara keduanya secara
simetris karena kemampuan finansial, sumber daya manusia, dan teknologi yang
sama-sama besar akan cenderung mempengaruhi nilai mata uang dan perekonomian
negara-negara yang lebih menjadi sasaran atau objek globalisasi tersebut.
Munculnya ketergantungan sebagaimana yang telah diungkapkan tadi, telah membuat
penulis cukup berpikir keras yakni bagaimana nantinya agar arah pendidikan
benar-benar mampu menyikapi secara kritis dan inovatif dalam masuknya berbagai
tawaran dunia luar yang mana dapat memunculkan kecenderungan pada terancamnya
budaya dan identitas lokal.
Suatu hal yang sekiranya menjadi
perenungan, mengapa kemudian investasi akan pendidikan menjadi basis yang cukup
penting dirasakan penulis adalah ketika suatu masyarakat di dalam suatu negara
memiliki pendidikan, maka secara bertahap akan melahirkan pula kritisme dari
masyarakat itu sendiri. Melalui teorisasi Anthony Giddens dimana globalisasi
pada kenyataannya akan membuat sekelompok masyarakat bahkan suatu negara akan
memiliki ketergantungan dengan pandangan bahwa segala sesuatunya hidup dalam
satu dunia, kita pun akan dapat memahami bahwa pada dasarnya globalisasi
dipandang secara berbeda oleh berbagai kaum.
Di satu sisi oleh kaum skeptis globalisasi
hanyalah omong kosong belaka yang mana banyak
negara yang hanya memperoleh sedikit manfaat dari perdagangan luar negeri.
Sedangkan di sisi lain oleh kaum hiperglobalis, globalisasi lebih dianggap
sebagai suatu “berkah” dimana manfaat dan dampaknya dapat dirasakan di mana
pun. Sehingga Oleh Kenichi Ohmae[6]
lebih sering menyebutnya sebagai sesuatu yang mengarah ke sebuah “dunia tanpa
batas”. Mencermati pandangan yang berbeda dari kedua kaum tersebut, sekiranya
dapat dipetik suatu pemikiran bahwa globalisasi dengan sendirinya telah
memunculkan suatu hal yang seringkali sangat dilematis. Dalam artian kita harus
dihadapkan pada pilihan apakah akan menerima globalisasi itu sebagai suatu
“berkah” ataukah justru “malapetaka”.
Poin yang harus dicermati disini adalah
ketika globalisasi itu telah menjadi suatu ruang yang tanpa batas, maka hal ini
menjadi suatu tantangan tersendiri bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan.
Artinya kemudian apa? Ketika globalisasi merupakan ruang yang tanpa batas dan
pesonanya pun memiliki kecepatan yang luar biasa serta menghadirkan dirinya
sebagai “wajah bermuka dua” dengan segala pertimbangan akan positif dan
negatif, tentunya secara tidak langsung akan menuntut pula masyarakat untuk
memiliki pengetahuan akan hal itu. Dengan demikian tantangan yang telah ada
dihadapan ini telah memunculkan pemikiran kritis, yakni pendidikan masyarakat
lokal sudah seharusnya dipacu bagaimana caranya agar dapat berpikir cepat pula,
dan kritis memilah sesuatu hal yang positif tanpa melupakan nilai-nilai budaya lokal di tengah
arusnya globalisasi yang segala sesuatunya mudah diakses begitu cepat.
Mengapa nilai-nilai budaya lokal menjadi
hal penting untuk penulis katakan. Sebab terkait dengan adanya intensivity sebagaimana yang telah
diungkapkan di atas tadi, yakni adanya perubahan kebiasaan yang mengglobal
kemudian menularkan kepada masyarakat lokal melalui pola makanan, pola
berpakaian, gaya berbicara, dan lain sebagainya, penulis mengkhawatirkan proses
lokalisasi terhadap pergeseran kebiasaan pola hidup sehari-hari yang datang
dari budaya luar tadi dapat
menghilangkan budaya lokal Indonesia yang selama ini telah menjadi ciri
khasnya.
Di sinilah kemudian arti penting penguatan
lokal melalui pendidikan dalam arus globalisasi. Ketika globalisasi menjadi
suatu hal yang dilematis secara praktis pendidikan akan menemukan peranannya.
Peran pendidikan yang dimaksud penulis dapat meliputi bagaimana aktor yang
terlibat di dalamnya yakni siswa/siswi, mahasiswa/mahasiswi, guru, dosen,
lembaga pendidikan itu sendiri, serta pendidikan yang diberikan dalam lingkup
keluarga, dimana dapat melalui penanaman nilai-nilai (moral) dan peningkatan
mutu pelayanan atau fasilitas pendidikan. Lalu pertanyaannya adalah ketika
globalisasi merupakan suatu hal yang dilema bagaimana kemudian peran pendidikan
menghadapi tantangan tersebut? Tentunya ada dua pilihan apakah akan masuk dalam
arus globalisasi atau menolak globalisasi sebagai suatu hal yang tidak
memberikan manfaat.
Menyikapi kedua pilihan tersebut, dalam
hal ini penulis berpandangan akan masuk dalam arus globalisasi tersebut yakni
dengan catatan penting menerima globalisasi sebagai suatu bentuk untuk
meningkatkan kompetensi diri tanpa melupakan nilai-nilai budaya lokal bangsanya
sendiri. Peningkatan kompetensi diri ini dapat berupa adanya suatu keinginan
untuk mempertahankan kemerdekaan melalui pendidikan yakni dengan belajar.
Sebagaimana nasihat Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Indonesia bahwa “Merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari
penjajahan, tetapi juga kuat mempertahankan karena itu ingatlah hak dan
kewajiban tidak dapat dipisahkan”[7].
Selain itu bentuk peningkatan kompetensi
diri melalui pendidikan di tengah arusnya globalisasi ini, melahirkan pula
pemikiran bagi penulis yakni bagaimana dapat memanfaatkan arus globalisasi yang
kemajuannya begitu pesat seperti dalam bidang teknologi informasi dan
komunikasi misalnya, melalui internet dan komputer menjadi suatu ruang dimana
seseorang dapat mengambil nilai positifnya dalam rangka pengembangan kompetensi
diri. Sebagai contoh dapat dicermati melalui kisah nyata yang cukup menarik di
bawah ini:
Septinus George
Saa, Mutiara Hitam dari Papua
Berharap
tidak ada lagi korupsi di Indonesia? Rasanya harapan itu sia-sia. Berharap ada
orang Indonesia meraih nobel? Nah, kalau yang ini rasanya bukan mimpi kosong.
Setidaknya, harapan itu membersit ketika pertengahan April lalu, Septinus
George Saa, seorang putera Papua, memenangi lomba “First Step to Nobel Prize in
Physics”. Oge demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan
antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan
hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya “Infinite Triangle
and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor” itu mengungguli ratusan
paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30
jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk
memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas. Oge adalah siswa
di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah
yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga
asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan oase disini. Ia mulai
menemukan internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan,
dan hasil penelitian para pakar fisika dunia. (Sumber: Kompas, 27 Juni 2004 dalam Listyarti, Retno, Potensi Diri, Jakarta: Esis, 2005, hal. 13-14).
Dari pernyataan di atas tadi, suatu hal
yang dapat dijadikan bahan perenungan kembali bahwasanya arus globalisasi
memang harus disikapi secara kritis. Di satu sisi globalisasi memang
“berkahnya“ tidak begitu dirasakan oleh segelintir orang, namun globalisasi di
sisi lain juga perlu untuk disikapi sebagai suatu proses tantangan yang
sebaiknya diterima secara positif.
Berangkat dari semua pemaparan yang telah
diungkapkan, dengan demikian butuh perhatian mendalam dalam penguatan potensi masyarakat
lokal melalui pendidikan ditengah arus globalisasi yang penuh dengan daya saing
tinggi. Sehingga sekiranya tidak berlebihan, jika penulis mengatakan bahwa
pendidikan sudah sepantasnya menjadi salah satu strategi yang tidak dapat
dikesampingkan. Sebab bagaimanapun syarat utama suatu bangsa dapat menjadi
bangsa yang besar dan maju, maka terlebih dahulu ia harus memiliki sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas, kritis, dan inovatif dalam mengelola negaranya
sendiri bukan di tangan bangsa lain ataupun membangun potensinya di luar
negaranya sendiri sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal. Percuma
suatu daerah dengan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah, namun
masyarakat di dalamnya tidak dapat mengelolanya. Ironisnya justru mesin
pengendalinya kemudian berada di tangan orang-orang asing.
[1]Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[2] Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil
Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 252a
[3] Ibid., hal. 104
[6] Kenichi Ohmae adalah salah satu ahli
yang menjadi bagian dari kaum hiperglobalis, lihat Suteng, Bambang dkk,
dalam Dampak Globalisasi, Jakarta: Erlangga,
2006, hal. 139
[7] Lihat Ernawati, Rus (ed.), dalam Indonesia
Pada Awal Kemerdekaan, Klaten: Cempaka Putih, 2005, hal. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar