*Tulisan ini pernah dimuat di Portal SDM Pupuk Kaltim dan di Portal Lembaga Sertifikasi Profesi
Secara empiris muncul kesadaran
global yang coba digalakkan oleh perusahaan-perusahaan di dunia termasuk
Indonesia, untuk menghadapi
tantangan dalam penyediaan tenaga kerja yang kompeten, profesional dan
produktif. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan dan
pelatihan kerja. Tentu saja, dalam pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan tersebut diperlukan tersedianya sumber daya pelatihan
yang meliputi sistem program, fasilitas, metode, dan instruktur.
Dari keempat
sumber daya yang telah disebutkan itu, penulis menilai bahwa dalam hal ini
instruktur memiliki peran yang paling menentukan dalam keberhasilan suatu
pelatihan. Betapa tidak, seorang instruktur harus mampu mengkonsep dan menyampaikan
materi pelatihan yang dapat dipahami dengan mudah, hingga akhirnya transfer
ilmu yang telah disampaikan mampu diaplikasikan oleh peserta pelatihan. Oleh
karena itu, profesi sebagai instruktur merupakan tuntutan yang tidak dapat
dihindarkan. Keberadaannya menjadi penting untuk menghasilkan tenaga kerja
terampil dan berkualitas dalam memenuhi kebutuhan industri.
Namun, dalam realitanya selama ini mungkin telah
banyak orang yang memiliki potensi sebagai instruktur, tetapi ketika ada pertanyaan apa bukti
anda sebagai instruktur mungkin hanya modal pengalamanlah yang bisa diungkapkan.
Sebab, belum adanya sebuah pengakuan yang tertuang lewat otentik (tulisan).
Bukti otentik tersebut, sebut saja misalnya melalui adanya sebuah sertifikasi. Belum adanya sertifikasi kompetensi, bisa jadi telah
membuat posisi seseorang yang biasanya dipercaya menjadi instruktur justru
belum menjalankan fungsinya secara professional. Hal ini bisa terjadi karena
belum adanya sebuah pengakuan, serta mekanisme untuk mencapainya belum
terstruktur dengan rapi.
Melihat kondisi tersebut, PT Pupuk Kaltim yang merupakan
perusahaan produsen pupuk urea dan amoniak terbesar di Indonesia lantas tidak menutup mata terhadap persoalan
tersebut. Senin sampai dengan Kamis (20 s/d 23/05) bertempat di Gedung Diklat
lantai 2 Pupuk Kaltim, perusahaan ini menggelar Pelatihan dan Sertifikasi Kompetensi Kerja Profesi Instruktur. Adapun
jumlah peserta yang diundang untuk terlibat berjumlah 28 orang yang berasal
dari lingkup Pupuk Kaltim sendiri.
Tujuan utama dilaksanakannya
pelatihan ini didasarkan bahwa “selama ini banyak instruktur yang berasal dari
lingkup Pupuk Kaltim sendiri dan mereka berkompeten dalam berbagai bidang, tapi
apakah ada bukti mereka berkompeten? jadi, seluruh instruktur yang dimiliki
oleh Pupuk Kaltim harus diberi sertifikasi yang diakui oleh negara”, ungkap Eka
Dewi Anggrainy selaku Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pupuk Kaltim yang
sekaligus merupakan ketua dalam pelatihan tersebut.
Sertifikasi bisa dianggap sebagai reward yang diberikan perusahaan kepada para instruktur yang telah
diberdayakan kemampuannya sebagai instruktur, agar mereka dapat lebih dihargai
dan diakui sehingga memiliki daya jual. Anggraini juga mengungkapkan adanya
sertifikat yang nantinya telah dipegang oleh instruktur, diharapkan dapat
memiliki posisi tawar yang dapat meyakinkan pihak luar bahwa “ini lembaga kami
resmi dan bersertifikat, guru saja ketika mengajar bersertifikat, maka seorang
instruktur pun sudah seharusnya juga memiliki sertifikasi, karena instruktur juga
adalah seorang pendidik”, katanya.
Dalam pelaksanaannya, pelatihan yang digelar oleh Pupuk
Kaltim selama empat hari ini bekerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi
Instruktur Kursus Indonesia (LSPIKI) dari Jakarta. “LSPIKI merupakan lembaga
yang telah mendapatkan lisensi (ijin) dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi
(BNSP). Kewenangan yang melekat pada BNSP adalah mensertifikasi seluruh profesi
yang ada di Indonesia, sehingga badan ini bekerja untuk menjamin mutu
kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi
di Indonesia melalui proses sertifikasi”, ungkap Andi Ali Said Asesor
Kompetensi LSPIKI.
Peran dari LSPIKI adalah mensertifikasi
para instruktur yang biasanya memberi pelatihan, tapi mereka belum mendapatkan sertifikasi
secara nasional bahwa mereka adalah seorang instruktur. Sertifikasi dilakukan melalui
uji hard kompetensi. Pelatihan ini juga dilakukan sebagai dasar untuk melakukan
penilaian (assesment) dalam
mengumpulkan bukti-bukti terhadap peserta apakah mereka bisa memenuhi standart
BNSP atau tidak. Metode pengumpulan bukti terdiri dari bukti langsung dan bukti
tidak langsung (tambahan). Bukti langsung peserta akan diuji untuk
mempraktekkan cara mengajar dan LSPIKI yang akan mengobservasi mereka bagaimana
cara mengajar. Sedangkan metode tidak langsung peserta harus mampu membuat dokumen
bukti, contohnya harus bisa membuat session
plan. Andi Ali Said lebih menegaskan bahwa output dari pelatihan ini pada
akhirnya tentu saja untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi dari BNSP,
yang menandakan bahwa seseorang telah memenuhi standart BNSP.
Sementara itu, di lain pihak peserta pelatihan Ismail (49)
yang sempat ditemui di sela-sela sebelum pelaksanaan acara mengurai cerita
menarik dari pelatihan ini. Pasalnya, selama ini ia telah memiliki banyak pengalaman
karena seringnya melatih karyawan baru yang masuk dalam unit kerja. Namun,
sampai sekarang ini ia belum memiliki sertifikasi kompetensi berskala nasional.
Karena itu, dengan mengikuti pelatihan ini, ia berharap sertifikasi kompetensi
kerja profesi instruktur akan didapatkan, sehingga siapapun dan dari lembaga
manapun dapat memberikan pengakuan bahwa ia benar-benar terbukti kompeten. (Safni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar